Langsung ke konten utama

BAB 1
PENDAHULUAN
                                    Bab ini akan diuraikan tentang latar belakang penelitian, rumusan masalah, tujuan penelitian serta mamfaat penelitian.
1.1  Latar Belakang
Menurut Nabyl (2012), stroke yaitu suatu kondisi yang terjadi ketika pasokan darah ke suatu bagian otak tiba-tiba terganggu, karena sebagian sel-sel otak mengalami kematian akibat gangguan aliran darah karena sumbatan atau pecahnya pembuluh darah otak. Sementara WHO (World Heart Organisation) mendefinisikan bahwa stroke adalah gejala-gejala defisit fungsi sususnan saraf yang diakibatkan oleh penyakit pembuluh darah otak dan bukan oleh yang lain (Sari Indah Permata, 2015).
Pasien yang menderita penyakit stroke tentunya akan mengalami berbagai problematika, keterbatasan dan hambatan pada semua tingkat termasuk struktur tubuh, fungsi tubuh, aktifitas dan partisipasi dalam lingkungan dan kehidupan sehari-hari sehingga sangat banyak penderita stroke akan selalu membutuhkan peran keluarga atau orang lain diluar dirinya sendiri sebagai pendamping dalam menyelesaikan aktifitas kerja dan tugas sehari-hari demi memenuhi semua kebutuhan dasar dan kebutuhan tambahan bagi dirinya yang mengalami gangguan akibat sakit sehingga dalam hal ini akan terjadi masalah ketidakmandirian individu yang merupakan masalah pokok yang dihadapi oleh mereka sebagai pasien itu sendiri maupun bagi keluarga sebagai orang terdekatnya (Meidia. A.C., D.P, & Irfan, 2014)
Data Riskesdas tahun 2013 menunjukkan prevalensi penyakit tidak menular di Indonesia cukup tinggi yaitu stroke sebesar 12,1‰, hipertensi sebesar 25,8%, diabetes melitus sebesar 2,1%, dan penyakit jantung koroner sebesar 1,5%  (Rahayu, 2016). Di negara dengan tingkat perekonomian rendah dan sedang, penyakit tidak menular menyebabkan kematian sebesar 29% dari seluruh kematian pada penduduk usia kurang dari 60 tahun, sedangkan di negara maju sebesar 13%. Peningkatan insiden dan prevalensi penyakit tidak menular berkaitan erat dengan modernisasi dunia, peningkatan usia harapan hidup, dan perbaikan tingkat kesejahteraan masyarakat yang tidak diimbangi dengan pola hidup yang sehat (Rahayu, 2016)
Jumlah penderita penyakit stroke di Indonesia tahun 2013 berdasarkan diagnosis tenaga kesehatan (Nakes) diperkirakan sebanyak 1.236.825 orang (7,0‰), sedangkan berdasarkan diagnosis Nakes/gejala di perkirakan sebanyak 2.137.941 orang (12,1‰). Berdasarkan diagnosis Nakes maupun diagnosis/ gejala, Provinsi Jawa Timur memiliki estimasi jumlah penderita terbanyak yaitu sebanyak 190.449 orang (6,6‰) dan 302.987orang (10,5‰), Penderita penyakit jantung koroner, gagal jantung dan stroke banyak ditemukan pada kelompok umur 45-54 tahun, 55-64 tahun dan 65-74 tahun (Kemenkes RI, 2014). Sedangkan jumlah penderita stroke di desa Sumber Porong RW 13 berjumlah 5 orang sedangkan di RW 16 berjumlah 1 orang Kecamatan Lawang Kabupaten Malang tahun 2018.
Stroke atau Cerebrovascular disease menurut World Health Organization (WHO) adalah “tanda-tanda klinis yang berkembang cepat akibat gangguan fungsi otak fokal atau global karena adanya sumbatan atau pecahnya pembuluh darah di otak dengan gejala- gejala yang berlangsung selama 24 jam atau lebih” (Arifianto, Sarosa, & Setyawati, 2014). Stroke adalah gangguan tiba-tiba suplai darah ke otak. Sebagian besar stroke disebabkan oleh penyumbatan arteri tiba-tiba (stroke iskemik). Stroke lainnya disebabkan oleh pendarahan ke jaringan otak ketika pembuluh darah pecah (stroke hemoragik) (Clinic, 2018)
Menurut Nastiti (2012) Faktor penyebab stroke diantaranya Hipertensi, kadar glukosa dan kolesterol darah yang tinggi, penyakit jantung, faktor perilaku misalnya perilaku merokok dan gemar minum alkohol, stress serta penyebab lain (Erawantini & Chairina, 2016). Stroke merupakan penyebab kecacatan kronik yang paling tinggi pada kelompok umur di atas usia 45 tahun. Jumlah dan status ekonomi, sindroma metabolik meliputi obesi- tas yang umum dan sentral, hipertensi, dislipidemia, hiperglukosa serta perilaku berisiko meliputi merokok, konsumsi alkohol, kurang aktivitas fisik, kurang konsumsi buah/sayur (Riyadina & Rahajeng, 2013)
Efek dari stroke tergantung pada tingkat keparahan dan area otak mana yang terluka. Stroke dapat menyebabkan kelemahan mendadak, kehilangan sensasi, atau kesulitan berbicara, melihat, atau berjalan (Clinic, 2018). Stroke dapat mempengaruhi kehidupan pasien dalam berbagai aspek (fisik, emosional, psikologis, kognitif, dan sosial). Tingkat kecacatan fisik dan mental pada pasien pasca stroke dapat mempengaruhi kualitas hidup pasien (Bariroh, S, & A, 2016). Gejala sisa pada stroke mencakup komplikasi diantaranya 80% pasien stroke mengalami penurunan parsial atau total gerakan dan kekuatan lengan atau tungkai di salah satu sisi tubuh (kelumpuhan parsial disebut paresis, kelumpuhan total disebut paralisis). Selain itu 30% mengalami masalah komunikasi atau tidak mampu berbicara, selanjutnya 30% mengalami kesulitan menelan (disfagia), 10% mengalami masalah melihat benda-benda di satu sisi (hemianopia) 10 % lagi mengalami penglihatan ganda (diplopia). Kurang dari 10% mengalami gangguan koordinasi saat duduk, berdiri atau berjalan, 30% mengalami orientasi kiri kanan bahkan tidak menyadari masalahnya. Hingga 70% mengalami gangguan suasana hati, 20% merasakan nyeri bahu. Kurang dari 10% mengalami kejang atau epilepsi, bahkan menderita sakit kepala (Mariana, 2014).
Menurut muttaqin, 2008 Masalah keperawatan yang sering terjadi pada pasien stroke adalah perubahan perfusi jaringan otak, hambatan mobilitas fisik, resiko gangguan integritas kulit, kerusakan komunikasi verbal, resiko ketidakseimbangan nutrisi (Wicaksono, 2017)
Salah satu masalah keperawatan yang perlu penanganan lebih lanjut yaitu hambatan mobilitas fisik, karena pasien stroke akan merasa kehilangan kekuatan pada salah satu anggota gerak. Pada penderita stroke atau lumpuh separuh badan, biasanya penderita akan mengalami kesulitan dalam melakukan aktifitas karena keterbatasan ruang gerak(Wicaksono, 2017)
 Masalah yang sering dialami oleh penderita stroke dan yang  paling ditakuti adalah gangguan gerak. Penderita mengalami kesulitan saat berjalan karena mengalami gangguan pada kekuatan otot, keseimbangan dan koordinasi gerak. Pasien stroke bukan merupakan kasus kelainan muskuloskeletal, tetapi kondisi stroke merupakan kelainan dari otak sebagai susunan saraf pusat yang mengontrol dan mencetuskan gerak dari sistem neuromuskuloskeletal. Secara klinis gejala yang sering muncul adalah hemiparesis (M & Kusgiarti, 2017)
Keadaan hemiparesis merupakan salah satu faktor yang menjadi penyebab hilangnya mekanisme refleks postural normal, seperti mengontrol siku untuk bergerak, mengontrol gerak kepala untuk keseimbangan, rotasi tubuh untuk gerak-gerak fungsional pada ekstremitas. Gerak fungsional merupakan gerak yang harus distimulasi secara berulang – ulang, supaya terjadi gerakan yang terkoordinasi secara disadari serta menjadi refleks secara otomatis berdasarkan ketrampilan aktifitas kehidupan sehari- sehari (AKS) (M & Kusgiarti, 2017).
Penatalaksanaan yang bisa dilakukan pada pasien stroke dengan kelemahan otot, selain terapi medikasi atau obat-obatan bisa dilakukan fisioterapi / latihan : latihan beban, keseimbangan, dan latihan ROM (Range Of Motion) (M & Kusgiarti, 2017).
Menurut Suryadi (2013) perawat mempunyai peranan dalam berinteraksi dengan pasien yang dapat mempengaruhi kesehatan sehingga pasien memiliki derajat kesehatan yang lebih tinggi (Fleeson et al., 2017). Perawat memiliki peran penting dalam memberikan asuhan keperawatan individu yang sesuai dengan  diagnosis masalah sederhana sampai yang kompleks. Sehubungan dengan masalah diatas maka peran perawat yang digunakan yaitu memberi asuhan keperawatan untuk meningkatkan mutu pelayanan kesehatan termasuk meningkatkan pengetahuan dan perilaku kelompok lansia dalam menangani gangguan mobilitas fisik yang benar karena jika gangguan mobilitas fisik tersebut tidak teratasi dengan baik dan benar maka akan mengganggu aktivitas fisik klien.
1.2 Identifikasi Masalah
Bagaimanakah asuhan keperawatan pada lansia Stroke dengan Masalah Mobilitas di Desa Sumber porong Lawang?
1.3. Tujuan
1. Tujuan Umum
Untuk mendapatkan gambaran tentang asuhan keperawatan pada lansia penderita stroke dengan masalah mobilitas fisik di desa Sumberporong Lawang
2. Tujuan Khusus
1.Untuk mendapatkan gambaran tentang pengkajian keperawatan pada lansia yang mengalami stroke
2. Untuk mendapatkan gambaran tentang diagnosis keperawatan pada lansia yang mengalami stroke
3. Ubntuk mendapatkan gambaran tentang perencanaan keperawatan pada lansia yang mengalami stroke
4. Untuk mendapatkan gambaran tentang pelaksanaan tindakan keperawatan pada lansia yang mengalami stroke
5. Untuk mendapatkan gambaran tentang evaluasi keperawatan pada lansia yang mengalami stroke
1.4               Manfaat
1.      Manfaat Teoritis
Membantu untuk lebih memahami tentang masalah gangguan mobilitas fisik pada lansia penderita stroke kepada para pembaca guna agar bisa mencegah timbulnya stroke di masa lansia dan untuk lansia bisa lebih meningkatkan kualitas hidup yang lebih baik agar komplikasi stroke tidak muncul kembali. Dimana stroke merupakan masalah kesehatan yang berpengaruh pada faktor resiko kardiovaskuler lainnya, seperti penyakit jantung koroner dan masalah kardiovaskuler lainnya. Penulisan karya tulis ilmiah ini juga berfungsi untuk membandingkan antara teori dan kasus nyata yang terjadi di lapangan/ sekitar masyarakat, apakah teori yang ada dan kasus yang ada disekitar masyarakat sesuai/tidak sehingga tersusunlah karya tulis ilmiah ini.


2.      Manfaat praktis
1.      Bagi Perawat Karya tulis ilmiah ini diharapkan dapat memberi informasi dan menambah wawasan bagi perawat dalam memberikan asuhan keperawatan pada lansia penderita stroke dengan masalah gangguan mobilitas fisik.
2.      Bagi Institusi Pendidikan
Manfaat praktis bagi institusi akademik yaitu dapat digunakan sebagai referensi bagi institusi pendidikan untuk mengembangkan ilmu pengetahuan tentang asuhan keperawatan pada lansia dengan  stroke dengan masalah gangguan mobilitas fisik.
3.      Bagi Pasien dan Keluarga
karya tulis ilmiah ini diharapkan dapat membantu pasien agar mendapatkan asuhan keperawatan yang tepat dan keluarga agar lebih mengetahui tentang penyakit stroke dengan masalah gangguan mobilitas fisik.
4.      Bagi Pembaca
Karya tulis ilmiah ini diharapkan dapat menambah ilmu dan wawasan bagi para pembaca agar dapat mengetahui bagaimana asuhan keperawatan yang tepat pada lansia dengan stroke dengan masalah gangguan mobilitas fisik.


BAB 2
TUNJAUAN PUSTAKA
Bab ini menjelaskan tentang konsep lansia, konsep stroke, konsep mobilitas dan kerangka konseptual
2.1 Konsep Dasar Lansia
2.1.1 Pengertian Lansia
Lansia adalah seseorang yang telah mencapai usia 60 tahun ke atas. Menua bukanlah suatu penyakit, tetapi merupakan proses yang berangsur-angsur mengakibatkan perubahan kumulatif, merupakan proses menurunnya daya tahan tubuh dalam menghadapi rangsangan dari dalam dan luar tubuh, seperti didalam Undang-Undang No 13 tahun 1998 yang isinya menyatakan bahwa pelaksanaan pembangunan nasional yang bertujuan mewujudkan masyarakat adil dan makmur berdasarkan Pancasila dan Undang- Undang Dasar 1945, telah menghasilkan kondisi sosial masyarakat yang makin membaik dan usia harapan hidup makin meningkat, sehingga jumlah lanjut usia makin bertambah. Banyak diantara lanjut usia yang masih produktif dan mampu berperan aktif dalam kehidupan bermasyarakat, berbangsa dan bernegara. Upaya peningkatan kesejahteraan sosial lanjut usia pada hakikatnya merupakan pelestarian nilai-nilai keagamaan dan budaya bangsa (Dalgleish et al., 2007)
Masa lanjut usia (lansia) adalah masa perkembangan terakhir dalam hidup manusia. Dikatakan sebagai perkembangan terakhir oleh karena ada sebagian anggapan bahwa perkembangan manusia berakhir setelah manusia menjadi dewasa (Jobans E, 1994). WHO (2009) menya- takan masa lanjut usia menjadi empat golongan, yaitu usia pertengahan (middle age) 45-59 tahun, lanjut usia (elderly) 60-74 tahun, lanjut usia tua (old) 75–90 tahun dan usia sangat tua (very old) di atas 90 tahun (Naftali, Ranimpi, & Anwar, 2017).
Menurut Setyonegoro (dalam Efendi, 2009) lanjut usia (getriatric age) dibagi menjadi 3 batasan umur, yaitu young old (usia 70-75 tahun), old (usia 75-80 tahun), dan very old (usia > 80 tahun). Berdasarkan berbagai pendapat di atas, dapat disimpulkan bahwa lansia merupakan seseorang yang berusia di atas 60 tahun (Naftali et al., 2017)
2.1.2    Klasifikasi Lansia
Menurut (Dalgleish et al., 2007) ada beberapa batasan lansia sebagai berikut :
a.       WHO (1999) menjelaskan batasan lansia adalah sebagai berikut :
1.      Usia lanjut (elderly) antara usia 60-74 tahun
2.      Usia tua (old) :75-90 tahun
3.      Usia sangat tua (very old) adalah usia > 90 tahun.
b.      Depkes RI (2005) menjelaskan bahwa batasan lansia dibagi menjadi tiga katagori, yaitu :
1.         Usia lanjut presenilis yaitu antara usia 45-59 tahun.
2.          Usia lanjut yaitu usia 60 tahun ke atas
3.         Usia lanjut beresiko yaitu usia 70 tahun ke atas atau usia 60 tahun ke atas dengan masalah kesehatan


2.1.3  Teori Proses Menua
                        Dalam buku ajar Geriatri, Prof. Dr.R. Boedhi darmojo dan Dr. H. Hadi Martono (1994) mengatakan bahwa “menua” (menjadi Tua) adalah suatu proses menghilangnya secara perlahan kemampuan jaringan untuk memperbaiki diri/ mengganti diri dan mempertahankan struktur dan fungsi normalnya sehingga tidak dapat bertahan terhadap jejas (termasuk infeksi) dan memperbaiki kerusakan yang diderita. Dari pernyataan tersebut, dapat disimpulkan bahwa manusia secara perlahan mengalami kemunduran struktur dan fungsi organ. Kondisi ini dapat memengaruhi kemandirian dan kesehatan lanjut usia, termasuk kehidupan seksual nya (wahjudi Nugroho, 2008).
Adapun teori proses menua menurut (wahjudi Nugroho, 2008) mengatakan ada beberapa macam teori proses menua diantara nya, yaitu :
1.             Teori Biologis
a. Teori Genetik
Teori genetik clock. Teori ini merupakan teori intrinsik yang menjelaskan bahwa di dalam tubuh terdapat jam biologis yang mengatur gen dan menentukan proses penuaan. Teori ini mengatakan bahwa menua itu telah terprogram secara genetik untuk spesies tertentu. Setiap spesies di dalam inti selnya memiliki suatu jam genetik/jam biologis sendiri dan setiap spesies mempunyai batas usia yang berbeda-beda yang telah diputar menurut replikasi tertentu sehingga bila jenis ini berhenti berputar, ia akan mati
Manusia mempunyai umur harapan hidup nomer dua terpanjang setelah bulus. Secara teoretis, memperpanjang umur mungkin terjadi, meskipun hanya beberapa waktu dengan pengaruhi




















Tabel 2.1. catatan rentang hidup (life span) makhluk yang hidup di alam bebas. (Sumber: Boedi Darmojo, Buku Ajar Geriatri [1999])
Jenis Makhluk
Umur (tahun)
Bulus
170
Manusia
116
Kerang
80
Kakak tua
70
Gajah
70
Burung hantu
68
Kuda
62
Simpanse
50
Gorila
48
Beruang
47
Bangau
35
Kucing
30
Anjing
27
Sapi
20
Kelinci
18
Ayam
14
Tikus
5
Mencit
5
Kecoa
1
Nyamuk
5 bulan
Lalat
70 hari

b.      Teori nongenetik
a)      Teori penurunan sistem imun tubuh (auto-immune theory).
Mutasi yang berulang dapat menyebabkan berkurang nya kemampuan sistem imun tubuh mengenali dirinya sendiri(self recognition). Jika mutasi yang merusak membran sel, akan menyebabkan sistem imun tidak mengenalinya sehingga merusaknya. Hal inilah yang mendasari peningkatan penyakit auto-imun pada lanjut usia. Dalam proses metabolisme tubuh, diproduksi suatu zat khusus. Ada jaringan tubuh tertentu yang tidak tahan terhadap zat tersebut sehingga jaringan tubuh menjadi lemah dan sakit. Sebagai contoh, tambahan kelenjar timus yang pada usia dewasa berinvolusi dan sejak itu terjadi kalainan autoimun.
b)      Teori kerusakan akibat radikal bebas (free radical theory)
Teori radikal bebas dapat terbentuk di alam bebas dan di dalam tubuh karena adanya proses metabolisme atau proses pernafasan  di dalam mitokondria. Radikal bebas merupakan suatu atom atau melekul yang tidak stabil karena mempunyai elektron yang tidak berpasangan sehingga sangat reaktif mengikat atom atau melekul lain yang menimbulkan berbagai kerusakan atau perubahan dalam tubuh. Tidak stabilnya radikal bebas (kelompok atom)  mengakibatkan oksidasi oksigen bahan organik, misalnya karbohidrat dan protein. Radikal bebas ini menyebabkan sel tidak dapat bergenerasi. (Halliwel, 1994). Radikal bebas dianggap sebagai penyebab penting terjadinya kerusakan fungsi sel. Radikal bebas yang terdapat di lingkungan seperti :
1.               Asap kendaraan bermotor
2.               Asap rokok
3.               Zat pengawet makanan
4.               Radiasi
5.               Sinar ultraviolet yang mengakibatkan terjadinya perubahan pigmen dan kolagen pada proses menua.
c)      Teori menua akibat metabolisme.
Telah dibuktikan dalam berbagai percobaan hewan, bahwa pengurangan asupan kalori ternyata bisa menghambat pertumbuhan dan memperpanjang umur, sedangkan perubahan asupan kalori yang menyebabkan kegemukan dapat memperpendek umur (Bahri dan Alem, 1989; Boedhi Darmojo, 1999)
d)     Teori rantai silang (cross link theory)
Teori ini menjelaskan bahwa menua disebabkan oleh lemak, protein, karbohidrat, dan asam nukleat (molekul kolagen) bereaksi dengan zat kimia dan radiasi, mengubah fungsi jaringan yang menyebabkan perubahan pada membran plasma, yang mengakibatkan terjadinya jaringan yang kaku, kurang elastis, dan hilangnya fungsi pada proses menua.
e)      Teori fisiologis
Teori ini merupakan teori intrinsik dan ekstrinsik. Terdiri atas teori oksidasi stres, dan teori dipakai-aus (wear and tear theory). Di sini terjadi kelebihan usaha dan stres mengakibatkan sel tubuh lelah terpakai (regenerasi jaringan tidak dapat mempertahankan kestabilan lingkungan internal).
2.      Teori sosiologi
Teori sosiologis tentang proses menua yang dianut selama ini diantara lain :
a)      Teori interaksi sosial
Teori ini mencoba menjelaskan mengapa lanjut usia bertindak pada suatu situasi tententu, yaitu atas dasar hal-hal yang dihargai mesyarakat. Kemampuan lanjut usia untuk terus menjalin interaksi sosial merupakan kunci mempertahankan status sosialnya berdasarkan kemampuan bersosialisasi.
Pokok-pokok sosial exchange theory antara lain:
1.      Masyarakat terdiri atas aktor sosial yang berupaya mencapai tujuannya masing-masing.
2.      Dalam upaya tersebut, terjadi interaksi sosial yang memerlukan biaya dan waktu.
3.      Untuk mencapai tujuan yang hendak dicapai, seorang aktor mengeluarkan biaya.
b)      Teori aktivitas atau kegiatan
1.    Ketentuan tentang semakin menurunnya jumlah kegiatan secara langsung. Teori ini menyatakan bahwa lanjut usia yang sukses adalah mereka yang aktif dan banyak ikut serta dalam kegiatan sosial.
2.    Lanjut usia akan merasakan kepuasan bila dapat melakukan aktivitas dan mempertahankan aktivitas tersebut selama mungkin.
3.    Ukuran optimum (pola hidup) dilanjutkan pada cara hidup lanjut usia.
4.    Mempertahankan hubungan antara sistem sosial dan individu agar tetap stabil dari usia pertengahan sampai lanjut usia.
c)      Teori kepribadian berlanjut (continuity theory)
Dasar kepribadian atau tingkah laku tidak berubah pada lanjut usia. Teori ini merupakan gabungan teori yang disebebkan sebelumnya. Teori ini menyatakan bahwa perubahan yang terjadi pada seorang lanjut usia sangat dipengaruhi oleh tipe personalitas  yang dimilikinya. Teori ini mengemukakan adanya kesinambungan dalam siklus kehidupan lanjut usia. Dengan demikian, pengalaman hidup seseorang pada suatu saat merupakan gambarannya kelak pada saat ia menjadi lanjut usia. Hal ini dapat dilihat dari gaya hidup, perilaku, dan harapan seseorang ternyata tidak berubah, walaupun ia telah lanjut usia.
d)     Teori pembebasan/ penarikan diri (disangagemen theory)
Teori ini membahas putusnya pergaulan atau hubungan dengan masyarakat dan kemunduran individu dengan individu lainnya.
Pokok-pokok disangagemen theory
1.      Pada pria, kehilangan peran hidup utama tejadi pada masa pensiun. Pada wanita, terjadi pada masa peran dalam keluarga berkurang, misalnya saat anak menginjak dewasa dan meninggalkan rumah untuk belajar dan menikah.
2.      Lanjut usia dan masyarakat menarik mamfaat dari hal ini karena lanjut usia dapat merasakan tekanan sosial berkurang, sedangkan kaum muda memperoleh kesempatan kerja yang lebih baik.
3.      Ada tiga aspek utama dalam teori ini yang perlu diperhatikan :
a. Proses menarik diri terjadi sepanjang hidup.
b. Proses tersebut tidak dapat dihindari.
c. Hal ini diterima lanjut usia dan masyarakat.

          Teori ini menyatakan bahwa dengan bertambah lanjut usia, apalagi ditambah dengan adanya kemiskinan, lanjut usia secara berangsur-angsur mulai melepaskan diri dari kehidupan sosialnya atau menarik diri dari pergaulan sekitarnya. Keadaan ini mengakibatkan interaksi sosial lanjut usia menurun, baik secara kualitas maupun kuantitas sehingga sering lanjut usia mengalami kehilangan genda (triple loss) :
1.      Kehilangan peran (loss of role)
2.      Hambatan kontak sosial (restriction of contact and relationship)
3.      Berkurangnya komitmen (reduced commitment to social mores and values)
Menurut teori ini, seorang lanjut usia dinyatakan mengalami proses menua yang berhasil apabila ia menarik diri dari kegiatan terdahulu dan dapat memusatkan diri pada persoalan pribadi dan mempersiapkan diri menghadapi kematiannya.
Dari penyebab terjadinya proses menua tersebut, ada beberapa peluang yang memungkinkan dapat diintervensi agar proses menua dapat diperlambat. Kemungkinan yang terbesar adalah mencegah :
1.      Meningkatnya radikal bebas.
2.      Mamanipulasi sistem imun tubuh.
3.      Melalui metabolisme/ makanan, memang berbagai “misteri kehipupan masih banyak yang belum terungkap, proses menua merupakan salah satu misteri yang paling sulit dipecahkan”.
Selain itu, peranan faktor risiko yang datang dari luar (eksogen) tidak boleh dilupakan, yaitu faktor lingkungan dan budaya gaya hidup yang salah. Banyak faktor yang memengaruhi proses menua (menjadi tua), antara lain herediter/genetik, nutrisi/ makanan, status kesehatan, pengalaman hidup, lingkungan, dan stres. Jadi, proses menua/ menjadi lanjut usia bukanlah suatu penyakit, karena orang yang meninggal bukan karena tua, orang muda pun bisa meninggal dan bayi pun bisa meninggal. Banyak mitos mengenai lanjut usia yang sering merugikan atau bernada negatif, tetapi sangat berbeda dengan kenyataan yang dialaminya.

2.1.4 Perubahan-Perubahan yang Terjadi Pada Lanjut Usia
1.                       Perubahan Fisik
a.                   Sel
Jumlah sel menurun, ukuran sel lebih besar, jumlah cairan tubuh dan cairan intraselular berkurang, proporsi protein di otak,otot, ginjal, darah, dan hati menurun, jumlah sel otak menurun, mekanisme perbaikan sel terganggu, otak menjadi atropi, beratnya berkurang 5-10%, lakukan otak akan menjadi lebih dangkal dan melebar.

b.             Sistem persarafan
Menurunnya hubungan persarafan,berat otak menurun 10-20%n(sel saraf otak setiap orang berkurang setiap harinya), respons dan waktu untuk bereaksi lambat, khususnya terhadap stres, saraf panca-indra mengecil, penglihatan berkurang, pendengaran menghilang, saraf penciuman dan perasa mengecil, lebih sensitif terhadap perubahan suhu, dan rendahnya ketahanan terhadap dingin, kurang sensitif terhadap sentuhan, defisit memori
c.              Sistem pendenagaran
Gangguan pendengaran, hilangnya daya pendengaran pada telinga dalam,terutama terhadap bunyi suara atau nada yang tinggi, suara yang tidak jelas, sulit mengerti kata-kata, 50% terjadi pada usia di atas umur 65 tahun, membran timpani menjadi atropi menyebabkan otosklrosis, terjadi pengumpulan serumen, dapat mengeras karena meningkatnya keratin, fungsi pendengaran semakin menurun pada lanjut usia yang mengalami ketegangan/stres, titanus (bising yang bersifat mendengung, bisa bernada tinggi atau rendah, bisa terus-menerus atau intermiten), vertigo (perasaan tidak stabil yang terasa  seperti bergoyong atau berputar),
d.             Sistem penglihatan
Sfingter pupil timbul sklerosis dan respons terhadap sinar menghalang, kornea lebih berbentuk sferis (bola), lensa lebih suram (kekeruhan pada lensa), menjadi katarak, jelas menyebabkan gangguan penglihatan, meningkatnya ambang, pengamatan sinar, daya adaptasi terhadap kegelapan lebih lambat, susah melihat dalam gelap, penurunan/ hilangnya daya akomodasi, dengan manifestasi presbiopia, seseorang sulit melihat dekat yang dipengaruhi berkurangnya elestisitas lensa, lapang pandang menurun, luas pandangan berkurang, daya membedakan warna menurun, terutama warna biru atau hijau pada skala.
e.              Sistem kardiovaskuler
Katup jantung menebal dan menjadi kaku, elastisitas dinding aorta menurun, kemampuan jantung memompa darah menurun 1% setiap tahun sesudah berumur 20 tahun, hal ini menyebabkan kontraksi dan volume menurun (frekuensi denyut jantung maksimal =200-umur), curah jantung menurun (isi semenit jantung menurun), kehilangan elestisitas pembuluh darah, efektivitas pembuluh darah perifer untuk oksigenasi berkurang, perubahan posisi dari tidur ke duduk (duduk ke berdiri) bisa menyebabkan tekanan darah menurun menjadi 65 mmHg (mengakibatkan pusing mendadak), kinerja jantung lebih rentan terhadap kondisi dehidrasi dan perdarahan, kinerja jantung lebih rentah terhadap kondisi dehidrasi dan perdarahan, tekanan darah meninggi akibat resistensi pembuluh darah perifer meningkat, sistole normal 170 mmHg, diastole 95 mmHg
f.              Sistem pengaturan suhu tubuh
Pada pengaturan suhu, hipotalamus dianggap bekerja sebagai suatu termostat, yaitu menetapkan suatu suhu tertentu. Kemunduran terjadi berbagai faktor yang memengaruhinya.
Yang sering ditemui antara lain :
1.   Temperatur tubuh menurun (hipotermia) secara fisiologis 35 derajat celcius ini akibat metabolisme yang menurun.
2.   Pada kondisi ini, lanjut usia akan merasa kedinginan dan dapat pula menggil, pucat, dan gelisah.
3.   Keterbatasan refleks menggigil dan tidak dapat memproduksi panas yang banyak sehingga terjadi penurunan aktivitas otot.
g.             Sistem pernafasan
Otot pernapasan mengalami kelemahan akibat atrofi, kehilangan kekuatan, dan menjadi kaku, aktivitas silia menurun, paru kehilangan elestisitas, kapasitas residu meningkat, menarik napas lebih berat, kapasitas pernapasan maksimum menurun dengan kedalaman bernafas menurun, ukuran alveoli melebar (membesar secara progresif) dan jumlah berkurang, berkurangnya elastisitas bronkus, oksigen pada arteri menurun menjadi 75 mmHg, karbon dioksida pada arteri tidak berganti, pertukaran gas terganggu, refleks dan kemampuan untuk batuk berkurang, sensitivitas terhadap hipoksia dan hiperkarbia menurun, sering terjadi emfisema senilis, kemampuan pegas dinding dada dan kekuatan otot pernapasan menurun seiring pertambahan usia.
h.             Sistem pencernaan
Kehilangan gigi, penyebab utama periodontal disease yang biasa terjadi setelah umur 30 tahun. Penyebab lain meliputi kesehatan gigi dan gizi yang buruk. Indra pengecap menurun, adanya iritasi selaput lendir yang kronis, atrofi indra pengecap (80%) , hilangnya sensitivitas saraf pengecap di lidah, terutama rasa manis dan asin, hilangnya sensitivitas saraf pengecap terhadap rasa asin, asam, dan pahit. Esofagus melebar. Rasa lapar menurun (sensitivitas lapar menurun), asam kambung menurun, motilitas dan waktu pengosongan lambung menurun. Peristaltik lemah dan biasanya timbul konstipasi. Fungsi absorpi melemah (daya absorpsi terganggu, terutama karbohidrat). Hati semakin mengecil dan tempat penyimpanan menurun, aliran darah berkurang.
i.               Sistem reproduksi
Pada wanita yaitu vagina mengalami kontraktur dan mengecil. Ovari menciut, uterus mengalami atrofi. Atrofi payudara. Atrofi vulva. Selaput lendir vagina menurun, permukaan menjadi halus, sekresi berkurang, sifatnya menjadi alkali dan terjadi perubahan warna. Sedangkan pada laki-laki yaitu testis masih dapat memproduksi spermatozoa, meskipun ada penurunan secara berangsur-angsur. Dorongan seksual menetap sampai usia di atas 70 tahun, asal kondisi kesehatannya baik, yaitu kehidupan seksual dapat diupayakan sampai masa lanjut usia. Hubungan seksual secara teratur membantu mempertahankan kemampuan seksual. Tidak perlu cemas karena prosesnya alamiah. Sebanyak 75% pria usia di atas 65 tahun mengalami pembesaran prostat.


j.               Sistem Genitourinaria
Ginja merupakan alat untuk mengeluarkan sisa metabolisme tubuh, melalui urine darah yang masuk ke ginjal, disaring oleh satuan (tepatnya di glomerulus). Mengecilnya nefron akibat atrofi, aliran darah ke ginjal menurun sampai 50% sehingga fungsi tubulus berkurang. Akibatnya, kemampuan mengonsentrasi urine menurun, berat jenis urine menurun, proteinuria (biasanya +1), BUN (blood urea nitrogen) meningkat sampai 21 mg% , nilai ambang ginjal terhadap glukosa meningkat.
               Keseimbangan elektrolit dan asam lebih mudah terganggu bila dibandingkan dengan usia muda. Renal plasma flow (RPF) dan glomerular fitration rate (GFR) atauklirens kreatinin menurun secara linier sejak usia 30 tahun (Cox Jr. Dkk,1985). Jumlah darah yang difiltrasi oleh ginjal berkurang.
               Vesika urinaria, otot menjadi lemah, kapasitasnya menurun sampai 200 ml atau menyebabkan frekuensi buang air seni meningkat. Pada pria lanjut usia, vesika urinaria sulit dikosongkan sehingga mengakibatkan retrensi urine meningkat.
               Pembesaran prostat, kurang lebih 75% dialami oleh pria usia di atas 65 tahun.
               Atrofi Vagina, seseorang yang semakin menua, kebetulan berhubungan seksualnya masih ada. Tidak ada batasan umur tertentu kapan fungsi seksual seseorang berhenti. Frekuensi hubungan seksual cenderung menurun secara bertahap setiap tahun, tetapi kapasitas untuk melakukan dan menikmatinya berjalan terus sampai tua.
k.             Sistem endokrin
Kelenjar endokrin adalah kelenjar buntu dalam tubuh manusia yang memproduksi hormon. Hormon pertumbuhan berperan sangat penting dalam pertumbuhan, pematangan, pemeliharaan, dan metabolisme organ tubuh. Yang termasuk horman kelamin adalah estrogen, progesteron, dan testosteron yang memelihara alat reproduksi dan gairah seks. Horman ini mengalami penurunan. Kelenjar pankreas ( yang memproduksi insulin dan sangat penting dalam pengaturan gula darah). Kelenjar adrenal/anak ginjal yang memproduksi adrenalin. Kelenjar yang berkaitan dengan horman pria/wanita. Salah satu kelenjar endoktrin dalam tubuh yang mengatur agar arus darah ke organ tertentu berjalan dengan baik, dengan jalan mengatur vasokontriksi pembuluh darah. Kegiatan kelenjar anak ginjal unu berkurang pada lanjut usia. Produksi hampir semua hormon menurun. Fungsi paratiroid dan sekresinya tidak berubah. Hipofisis pertumbuhan hormon ada, tetapi lebih rendah dan hanya di dalam pembuluh dara, berkurangnya produksi ACTH, TSH, FSH, dan LH. Aktivitas tiroid, BMR (basal metabolic rate), dan daya pertukaran zat menurun. Produksi aldosteron menurun. Sekresi hormon kelamin, misalnya progesteron, estrogen, dan testoteron, menurun.

l.               Sistem integumen
Kulit mengerut atau keriput akibat kehilangan jaringan lemak. Permukaan kulit cenderung kusam, kasar, dan bersisik ( karena kehilangan proses keratinasi serta perubahan ukuran dan bentuk sel epidermis). Timbu bercak pigmentasi akibat proses melanogenesis yang tidak merata pada permukaan kulit sehingga tampak bintik-bintik atau noda cokelat. Terjadi perubahan pada daerah sekitar mata, timbulnya kerut-kerut halus di ujung mata akibat lapisan kulit menipis. Respons terhadap trauma menurun. Mekanisme proteksi kulit menurun :
a.       Produksi serum menurun.
b.      Produksi vitamin D menurun.
c.       Pigmentasi kulit terganggu.
Kulit kapala dan rambut menipis dan berwarna kelabu. Rambut dalam hidung dan telinga menebal. Berkurangnya elastisitas akibat menurunnya cairan dan vaskularisasi. Pertumbuhan kaku lebih lambat. Kuku jari menjadi keras dan rapuh. Kuku menjadi pudar, kurang bercahaya. Kuku kaki tumbuh secara berlebihan dan seperti tanduk. Jumlah dan fungsi kelenjar keringat berkurang.
m.           Sistem muskuloskeletas
Tulang kehilangan densitas (cairan) dan semakin rapuh. Gangguan tulang, yakni mudah mengalami demineralisasi. Kekuatan dan stabilitas tulang menurun, terutama vertebra, pergelangan, dan paha. Insiden osteoporosis dan fraktur meningkat pada area tulang tersebut. Kartilago yang meliputi permukaan sendi tulang penyangga rusak dan aus. Kifosis. Gerakan pinggang, lutut dan jari-jari pergelangan terbatas. Gangguan gaya berjalan. Kekakuan jaringan penghubung. Diskus intervertebralis menipis dan menjadi pendek (tingginya berkurang). Persendian membesar dan menjadi kaku. Tendon mengerut dan mengalami sklerosis. Atropi serabut otot, serabut otot mengecil sehingga gerakan menjadi lamban, otot kram, dan menjadi tremor (perubahan pada otot cukup rumit dan sulit dipahami). Komposisi otot berubah sepanjang waktu (miofibril digantikan oleh lemak, kolagen, dan jarningan parut). Aliran darah ke otot berkurang sejalan dengan proses menua. Otot polos tidakbegitu berpengaruh.
2.      Perubahan Mental
Dibidang mental atau psikis pada lanjut usia, perubahan dapat berupa sikap yang semakin egosentrik, mudah curiga, bertambah pelit, atau tamak bila memiliki sesuatu. Yang perlu dimengerti adalah sikap umum yang ditemukan pada hampir setiap lanjut usia, yakni keinginan berumur panjang, tenaganya sedapat mungkin dihemat.mengharapkan tetap diberi peranan dalam masyarakat. Ingin mempertahankan hak dan hartanya, serta ingin tetap berwibawa. Jika meninggal pun, mereka ingin meninggal secara terhormat dan msuk surga.


Faktor-faktor yang mempengaruhi perubahan mental :
a.       Perubahan fisik, khusus nya organ perasa.
b.      Kesehatan umum.
c.       Tingkat pendidikan.
d.      Keturunan (herediter).
e.       Lingkungan.
`           perubahan kepribadian yang drastis, keadaan ini jarang terjadi. Lebih sering berupa ungkapan yang tulus dari perasaan seseorang, kekakuan mungkin karena faktor lain, misalnya penyakit.
3.      Perubahan Psikososial
Nilai seseorang sering diukur melalui produktivitasnya dan identitasnya dikaitkan dengan peranan dalam pekerjaan. Bila mengalami pensiun (purnatugas), seseorang akan mengalami kehilangan, antara lain kehilangan finansial, kehilangan status (dulu mempunyai jabatan/posisi yang cukup tinggi, lengkap dengan semua fasilitas). Kehilangan teman/kenalan atau relasi. Kehilangan pekerjaan/kegiatan dan merasakan atau sadar terhadap kematian, perubahan cara hidup (memasuki rumah perawatan, bergerak lebih sempit). Kemampuan ekonomi akibat pemberhentian dari jabatan. Biaya hidup meningkat pada penghasilan yang sulit, biaya pengobatan bertambah. Adanya penyakit kronis dan ketidakmampuan. Timbulnya kesepian akibat pengasingan dari lingkungan sosial. Adanya gangguan saraf panca-indra, timbul kebutaan dan ketulian. Gangguan gizi akibat kehilangan jabatan. Rangkaian kehilangan, yaitu kehilangan hubungan dengan teman dan famili. Hilangnya kekuatan dan ketegapan fisik (perubahan terhadap gambaran diri, perubahan konsep diri).
2.1.5 Ciri–Ciri Lansia
Menurut (Dalgleish et al., 2007) Ciri-ciri lansia adalah sebagai berikut :
a.         Lansia merupakan periode kemunduran.
  Kemunduran pada lansia sebagian datang dari faktor fisik dan faktor psikologis. Motivasi memiliki peran yang penting dalam kemunduran pada lansia. Misalnya lansia yang memiliki motivasi yang rendah dalam melakukan kegiatan, maka akan mempercepat proses kemunduran fisik, akan tetapi ada juga lansia yang memiliki motivasi yang tinggi, maka kemunduran fisik pada lansia akan lebih lama terjadi.
b.         Lansia memiliki status kelompok minoritas.
Kondisi ini sebagai akibat dari sikap sosial yang tidak menyenangkan terhadap lansia dan diperkuat oleh pendapat yang kurang baik, misalnya lansia yang lebih senang mempertahankan pendapatnya maka sikap sosial di masyarakat menjadi negatif, tetapi ada juga lansia yang mempunyai tenggang rasa kepada orang lain sehingga sikap sosial masyarakat menjadi positif.
c.         Menua membutuhkan perubahan peran.
Perubahan peran tersebut dilakukan karena lansia mulai mengalami kemunduran dalam segala hal. Perubahan peran pada lansia sebaiknya dilakukan atas dasar keinginan sendiri bukan atas dasar tekanan dari lingkungan. Misalnya lansia menduduki jabatan sosial di masyarakat sebagai Ketua RW, sebaiknya masyarakat tidak memberhentikan lansia sebagai ketua RW karena usianya.
d.        Penyesuaian yang buruk pada lansia.
Perlakuan yang buruk terhadap lansia membuat mereka cenderung mengembangkan konsep diri yang buruk sehingga dapat memperlihatkan bentuk perilaku yang buruk. Akibat dari perlakuan yang buruk itu membuat penyesuaian diri lansia menjadi buruk pula. Contoh : lansia yang tinggal bersama keluarga sering tidak dilibatkan untuk pengambilan keputusan karena dianggap pola pikirnya kuno, kondisi inilah yang menyebabkan lansia menarik diri dari lingkungan, cepat tersinggung dan bahkan memiliki harga diri yang rendah.








2.2  Konsep stroke
2.2.1              Pengertian Stroke
                        Istilah stroke atau penyakit serebrovaskular mengacu kepada setiap gangguan neurologik mendadak yang terjadi akibat pembatasan atau terhentinya aliran darah melalui sistem suplai arteri otak. Istilah stroke biasanya digunakan secara spesifik untuk menjelaskan infark serebrum. Istilah yang lebih lama dan masih sering digunakan adalah serebrovascular accident (CVA) (Price & Lorraine, 2005)
                        Menurut  Chandra B. pada tahun 1996 menjelaskan bahwa stroke adalah gangguan fungsi saraf akut yang disebabkan karena gangguan peredaran darah otak yang disertai dengan timbulnya gejala dan tanda yang sesuai dengan daerah fokal pada otak yang terganggu, baik yang terjadi secara mendadak (dalam beberapa detik) atau secara cepat (dalam beberapa jam) (Noerjanto M., 2002) (Yuyun, 2016).
                        Secara umum, stroke dapat terjadi pada semuakelompok umur, bahkan pada janin yang masih di dalam kandungan sekalipun.(2) Tetapi tiga perempat dari peristiwa stroke terjadi pada orang-orang yang sudah berusia 65 tahun atau lebih, sehingga stroke mengakibatkan timbulnya disabilitas pada orang- orang tua (Suwantara, 2004)
                        Stroke atau Cerebrovascular disease menurut World Health Organization (WHO) adalah “tanda- tanda klinis yang berkembang cepat akibat gangguan fungsi otak fokal atau global karena adanya sumbatan atau pecahnya pembuluh darah di otak dengan gejala- gejala yang berlangsung selama 24 jam atau lebih”.(Arifianto et al., 2014)
2.2.2             Klasifikasi Stroke
          Menurut Victor M. Dan Ropper A.H (2001) para ahli mengklasifikasikan stroke menjadi beberapa macam. Pengklasifikasian tersebut ada yang berdasarkan gambaran klinis, patologi anatomi, sistem pembuluh darah dan stadiumnya. Dasar klasifikasi yang berbeda ? beda ini perlu karena setiap jenis stroke mempunyai cara pengobatan, preventif dan prognosis yang berbeda, walaupun patogenesisnya serupa (Yuyun, 2016).
Klasifikasi modifikasi Marshall untuk stroke adalah sebagai berikut.
                                      I.            Berdasarkan patologi anatomi dan penyebabnya :
1.      Stroke Iskemik
a.       Transient Ischemic Attack
b.      Trombosis serebri
c.       Emboli serebri
2.      Stroke Hemoragik
a.       Perdarahan intraserebral
b.      Redarahan subarakhnoid
                                   II.            Berdasarkan stadium/pertimbangan waktu :
1.      Transient Ischemic Attack
2.      Stroke in evolution
3.      Completed stroke
                                III.            Berdasarkan sistem pembuluh darah :
1.      Sistem karotis
2.      Sistem vertebro-basiler
 (Yuyun, 2016)
          Menurut Badjatia (2005) Berdasarkan mekanisme terjadinya, stroke digolongkan menjadi stroke penyumbatan (iskemia) dan perdarahan (hemorrhagik). Stroke perdarahan dibagi lagi menjadi perdarahan subarachnoid, intraserebral, dan hematoma subdural. Perdarahan subarachnoid terjadi ketika darah masuk ke dalam subarachnoid akibat adanya trauma, pecahnya pembuluh darah intrakranial yang mengalami pembengkakan atau pecah nya arteriovenous malformation (AVM). Sementara itu,  pada stroke hemorragik  intraserebral perdarahan terjadi akibat pecahnya pembuluh darah di daerah parenkima otak itu sendiri yang menyebabkan pembentukan hematoma. Hal ini sering kali disebabkan kondisi hipertensi yang tidak terkontrol. Adapun hematoma subdural lebih disebabkan adanya pembekuan darah di daerah dura yang yang disebabkan oleh trauma. Meskipun lebih jarang terjadi dibandingkan stroke iskemia, namun stroke hemorrhagik ini lebih mematikan (Yueniwati, 2015)
          Menurut miscbach and kalim (2011) stroke juga bisa terdapat suatu peradangan atau infeksi yang menyebabkan penyempitan pembuluh darah yang menuju ke otak. Obat-obatan (misalnya kokain dan amfetamin) juga bisa menyempitkan pembuluh darah di otak dan menyebabkan stroke. Penurunan tekanan darah yang tiba-tiba bisa menyebabkan berkurangnya aliran darah ke otak, yang biasanya menyebabkan seseorang pingsan. Hal ini terjadi jika sesorang mengalami kehilangan darah yang banyak karena cedera atau pembedahan, serangan jantung atau irama jantung yang abnormal (Yueniwati, 2015)
2.2.3             Penyebab Stroke
          Menurut caplan (2000) Stroke iskemik dapat terjadi berdasarkan 3 mekanisme yaitu trombosis serebri, emboli serebri dan pengurangan perfusi sitemik umum. Trombosis serebri adalah obstruksi aliran darah yang terjadi pada proses oklusi satu atau lebih pembuluh darah lokal. Emboli serebri adalah pembentukan material dari tempat lain dalam sistem vaskuler dan tersangkut dalam pembuluh darah tertentu sehingga memblokade aliran darah. Pengurangan perfusi sistemik dapat mengakibatkan kondisi iskemik karena kegagalan pompa jantung atau proses perdarahan atau hipovolemik (Rambe, 2002).
          Menurut Heart and Stroke Foundation (2003)  Stroke hemoragik terjadi akibat pecahnya pembuluh darah baik di dalam jaringan otak yang mengakibatkan perdarahan intraserebral, atau di ruang subarakhnoid yang menyebabkan perdarahan subarakhnoid (Rambe, 2002).
2.2.4.           Patofisiologi Stroke
          Gangguan pasokan aliran darah otak dapat terjadi dimana  saja di dalam arteri-arteri yang membentuk sirkulus: arteri karotis interna dan sistem vertebrobasilar atau semua cabang-cabangnya . Secara umum, apabila aliran darah ke jaringan otak terputus selama 15 sampai 20 menit, akan terjadi infark atau kematian jaringan. Perlu dingat bahwa oklusi di suatu arteri tidak selalu menyebabkan infark di daerah otak yang diperdarahi oleh arteri tersebut. Alasannya adalah bahwa mungkin terdapat sirkulasi kolateral yang memadai ke daerah tersebut. Proses patologi yang mendasari mungkin salah satu dari berbagai proses yang terjadi di dalam pembuluh darah yang memperdarahi otak. Patologinya dapat berupa (1) keadaan penyakit pada pembuluh itu sendiri, seperti pada aterosklerosis dan trombosis, robeknya dinding pembuluh, atau peradangan; (2) berkurangnya perfusi akibat gangguan status aliran darah, misalnya syok atau hi perviskositas darah; (3) gangguan aliran darah akibat bekuan atau embolus infeksi yang berasal dari jantung atau pembuluh ekstrakranium; atau (4) ruptur vaskular di dalam jaringan otak atau ruang subaraknoid (Price & Lorranine M., Patofisiologi konsep konsep Klinis proses-proses penyakit, 2005)














Pathway

Otak

aterosklerosis

Trombosis

Kumpalan Plak aterosklerosis

Kurang dapat mengatur tekanan darah

Elestisitas akan menghilang

Arteri sel otot polos
 








stroke

hipertensi

serangan jantung

Emboli
                                                                                                                                          











Sumber :(Nastiti, 2012)


2.2.5             Tanda dan Gejala Stroke
          Menurut klasifikasi yang dikemukakan oleh The American Heart Association, daerah-daerah (domain) neurologis yang mengalami gangguan akibat stroke dapat dikelompokkan dalam 5 tipe yang meliputi:
a.       Motor: gangguan motorik adalah yang paling prevalen dari semua kelainan yang disebabkan oleh stroke dan pada umumnya meliputi muka, lengan, dan kaki, baik mono maupun dalam bentuk gabungan.
b.      Sensori: defisit sensorik berkisar antara kehilangan sensasi primer sampai kehilangan persepsi yang sifatnya lebih kompleks. Penderita mungkin menyatakannya sebagai perasaan semutan, rasa baal, atau gangguan sensitivitas. Kehilangan sensorik yang lebih kompleks meliputi gangguan seperti astereognosis dan agrafia.
c.       Penglihatan: stroke dapat menyebabkan hilangnya visus secara monokuler, hemianopsia homonim, atau kebutaan kortikal.
d.      Bicara dan bahasa: disfasia mungkin tampak sebagai gangguan komprehensi, lupa akan nama-nama, adanya repetisi, dan gangguan membaca dan menulis.(3,7) Sebanyak kira-kira 30% penderita stroke menunjukkan gangguan bicara. Kelainan bicara dan bahasa dapat mengganggu kemampuan penderita untuk kembali ke kehidupan mandiri seperti sebelum sakit.
e.       Kognitif: kelainan ini berupa adanya gangguan memori, atensi, orientasi, dan hilangnya kemampuan menghitung (kalkulasi). Sekitar 15-25% penderita stroke menunjukkan gangguaun kognitif yang nyata setelah mengalami serangan akut iskemik.
f.       Afek: gangguan afeksi berupa depresi adalah yang paling sering menyertai stroke. Depresi cenderung terjadi beberapa bulan setelah serangan dan jarang pada saat akut.
(Suwantara, 2004)
         Menurut (Konsultan & Kedokteran, 2016) Bagi kebanyakan orang, tidak ada tanda-tanda medis yang terjadi sebelum serangan stroke terjadi. Karena stroke bisa menyebabkan dampak yang sangat serius, apabila terjadi tanda-tanda peringatan berikut, maka konsultasi dengan dokter harus segera dilakukan untuk meminimalkan gejala sisa stroke (defisit yang dihasilkan dari penyakit atau insiden sebelumnya):
a.       Ketidakmampuan untuk berbicara dengan jelas atau mengalami kesulitan untuk berbicara
b.      Sensasi mati rasa secara tiba-tiba dan bersifat sementara, kelemahan atau kelumpuhan salah satu lengan, satu kaki atau setengah dari wajah (biasanya terjadi di sisi yang sama)
c.       Penglihatan yang kabur secara tiba-tiba atau penurunan kualitas penglihatan pada satu mata
d.      Sakit kepala yang parah secara tiba-tiba • Gangguan keseimbangan tubuh dan koordinasi tangan dan kak,i atau terjatuh secara tiba-tiba tanpa alasan yang jelas
e.       Rasa pusing atau pingsan tanpa alasan yang jelas
f.       Inkontinensia (buang air kecil secara spontan)
2.2.6             Faktor Risiko Stroke
          Menurut Bounameaux, et al (1999) Faktor risiko stroke adalah faktor yang memperbesar kemungkinan seseorang untuk menderita stroke. Ada 2 kelompok utama faktor risiko stroke. Kelompok pertama ditentukan secara genetik atau berhubungan dengan fungsi tubuh yang normal sehingga tidak dapat dimodifikasi. Yang termasuk kelompok ini adalah usia, jenis kelamin, ras, riwayat stroke dalam keluarga dan serangan Transient Ischemic Attack atau stroke sebelumnya. Kelompok yang kedua merupakan akibat dari gaya hidup seseorang dan dapat dimodifikasi. Faktor risiko utama yang termasuk kelompok kedua adalah hipertensi, diabetes mellitus, merokok, hiperlipidemia dan intoksikasi alkohol (Rambe, 2002)
          menurut hankey (2002) Adanya faktor risiko stroke ini membuktikan bahwa stroke adalah suatu penyakit yang dapat diramalkan sebelumnya dan bukan merupakan suatu hal yang terjadi begitu saja, sehingga istilah cerebrovascular accident telah ditinggalkan. Penelitian epidemiologis membuktikan
Bahwa pengendalian faktor risiko dapat menurunkan risiko seseorang untuk menderita stroke (Rambe, 2002)
          Menurut (Konsultan & Kedokteran, 2016) Banyak faktor risiko yang bisa menyebabkan stroke. Jika Anda berada dalam salah satu kategori berikut ini, Anda perlu waspada dan segera mengambil tindakan  pencegahan yang diperlukan.
b.      Riwayat stroke pada keluarga
c.        Usia di atas 55 tahun: semakin tinggi usia, semakin tinggi risikonya
d.      Tekanan darah tinggi: 70% dari pasien penderita stroke mengalami tekanan darah tinggi
e.       Kadar kolesterol tinggi: peluang lebih tinggi terjadinya aterosklerosis (akumulasi kolesterol dan deposit (plak) lainnya pada dinding arteri. Plak bisa mengurangi aliran darah yang melalui arteri) dan penyempitan pembuluh darah otak
f.       Merokok: meningkatkan peluang terjadinya stroke hingga 3 kali lipat untuk pria dan 4,7 kali lipat untuk wanita
g.      Diabetes melitus: meningkatkan peluang terjadinya stroke hingga 4 kali lipat
h.      Obesitas
i.        Penyakit kardiovaskular: peluang lebih tinggi terjadinya stroke bagi orang-orang dengan riwayat serangan jantung (infark miokard) dan irama jantung yang tidak normal (fibrilasi atrium)
j.        Malformasi Vaskular atau aneurisma (pembengkakan seperti balon) pembuluh darah di otak: peluang perdarahan yang relatif lebih tinggi
k.      Stroke Ringan, yaitu Serangan Iskemik Sementara (TIA - Transient Ischemic Attack): memiliki gejala yang mirip dengan stroke, tetapi berlangsung untuk jangka waktu yang lebih singkat, berlangsung sekitar 2 hingga 15 menit dan tidak lebih dari 24 jam. Stroke Ringan bisa menjadi tanda peringatan bahwa akan terjadi stroke yang lebih berat di masa depan.
l.        Pecandu alkohol: meningkatkan peluang terjadinya stroke
2.2.7             Komplikasi Stroke
Menurut (Brunner & Suddarth, 2002) Komplikasi stroke meliputi hipoksia serebral, penurunan aliran darah serebral, dan luas nya area cedera :
b.      Hipoksia serebral diminimalkan dengan memberi oksigenasi darah adekuat ke otak. Fungsi otak bergantung pada ketersediaan oksigen yang dikirimkan ke jaringan. Pemberian oksigen suplemen dan mempertahankan hemoglobin serta hematokrit pada tingkat dapat diterima akan membantu dalam mempertahankan oksigenasi jaringan.
c.       Aliran darah serebral bergantung pada tekanan darah, curah jantung, dan integritas pembuluh darah serebral. Hidrasi adekuat (cairan intravena) harus menjamin penurunan viskositas darah dan memperbaiki aliran darah serebral. Hipertensi atau hipotensi ekstrem perlu dihindari untuk mencegah perubahan pada aliran darah serebral dan potensi meluasnya area cedera.
d.      Embolisme serebral dapat terjadi setalah infark miokard atau fibrilasi atrium atau dapat berasal dari katup jantung prostetik. Embolisme akan menurunkan aliran darah ke otak dan selanjutnya menurunkan aliran darah ke serebral. Disritmia dapat mengakibatkan curah jantung tidak konsisten dan penghentian trombus lokal. Selain itu, distritmia dapat menyebabkan embolus serebral dan harus diperbaiki.
2.2.8             Penatalaksanaan Medis
Menurut (Brunner & Suddarth, 2002) tindakan medis terhadap pasien stroke meliputi :
b.      Diuretik untuk menurunkan edema serebral, yang mencapai tingkat maksimum 3 sampai 5 hari setelah infark serebral.
c.       Antikoagulan dapat diresepkan untuk mencegah terjadinya atau memberatnya trombosis atau embolisasi dari tempat lain dalam sistem kardiovaskuler.
d.      Medikasi antitrombosit dapat diresepkan karena trombosit memainkan peran sangat penting dalam pembentukan trombus dan ambolisasi.
2.2.9             Pencegahan Stroke
          Menurut Wilterdink and Easton, 2001; Sarti (,2003) Upaya preventif terbagi 2, yaitu prevensi primer dan prevensi sekunder. Upaya prevensi primer ditujukan untuk mencegah terjadinya stroke pada kelompok orang yang memiliki risiko untuk menderita stroke, misalnya pada penderita hipertensi, perokok, penderita diabetes mellitus, penderita penyakit jantung koroner dll. Termasuk ke dalam kelompok ini adalah modifikasi faktor risiko, prevensi medik misalnya dengan pemberian anti platelet atau anti koagulan, prevensi bedah misalnya carotid endarterectomy, dan sosialisasi/kampanye kesehatan masyarakat. Upaya prevensi sekunder ditujukan untuk mencegah terjadinya serangan stroke berulang pada kelompok orang yang sudah pernah mengalami stroke. Ke dalam kelompok ini termasuk pengontrolan faktor risiko, peningkatan faktor protektif, prevensi medik maupun prevensi bedah (Rambe, 2002)
          Pencegahan stroke menurut Mansyur (2003), terdiri dari pencegahan primer dan sekunder. Pencegahan primer meliputi : (1) Kampanye nasional, yang terintegrasi dengan program pencegahan penyakit vaskuler lainnya (2) Memasyarakatkan gaya hidup sehat bebas stroke dengan cara : (a) menghindari rokok, stres, alkohol, kegemukan, konsumsi rendah garam , hindari obat-obatan golongan amfetamin dan kokain. (b) Mengurangi kolesterol dan lemak dalam makanan. (3) Mengendalikan hipertensi, diabetes mellitus, penyakit jantung, penyakit vaskuler lainnya. (4) Menganjurkan konsumsi gizi seimbang dan olah raga teratur (McHenry, 1985)
          Pencegahan sekunder, (1) Memodifikasi gaya hidup beresiko stroke dan faktor resiko, misalnya : hipertensi, diet obat hipertensi yang sesuai, Diabetes mellitus, lakukan diet obat hipoglikemi oral/insulin. Dislipidemia, : diet rendah lemak dan obat anti disilipidemia, berhenti merokok, hindari merokok, hindari alkohol, kegemukan dan gerak badan. (2) Melibatkan peran serta keluarga seoptimal mungkin, hal ini disebabkan pasien stroke memiliki ketergantungan tinggi pada anggota keluarga untuk memenuhi kebutuhan hidup sehari- hari. Keluarga yang harmonis, perhatian, komunikasi dan relasi yang terbina baik, sangat bermakna bagi pasien sebagai suport psikologi (McHenry, 1985)





2.3  Konsep Mobilitas Fisik
2.3.1   Pengertian Mobilitas fisik
            Menurut Kozier dkk (2010) Mobilisasi adalah kemampuan untuk bergerak dengan bebas mudah, berirama, terarah di lingkungan dan merupakan bagian yang sangat penting dalam kehidupan (Prima Gusty, 2014)
            Mobilisasi adalah kemampuan yang dimiliki oleh individu untuk
bergerak/melakukan aktivitas didalam lingkungan sekitarnya, dari pengertian tersebut, adanya kemampuan yang dimiliki oleh individu agar dapat melakukan aktivitas sehari-hari (ADL) dalam memenuhi kebutuhan dasarnya seperti makan, minum, mandi dan berpakaian tanpa harus memerlukan bantuan orang lain. Demikian juga kegiatan lain yang menyangkut pekerjaan yang ditekuninya serta peran sosial kemasyarakatan yang diembankan dapat dilaksanakan secara adekuat (Marlina, 2012).
            Mobilitas adalah pergerakan yang memberikan kebebasan dan kemandirian bagi seseorang dan pusat untuk berpartisipasi dalam menikmati kehidupan (Indonesia, Prasetya, Hukum, & Kenotariatan, 2012). Menurut Kozier (1997) mobilisasi merupakan kemampuan yang dimiliki oleh setiap orang untuk bergerak dalam lingkungan sekitarnya untuk kepentingan pemenuhan kebutuhan sehari- hari (Activities of Daily Living/ADL ) serta pemenuhan terhadap peran yang diembannya dengan kemampuan tersebut seseorang dapat melakukan aktifitas fisik yang bersifat kebutuhan dasar, olah raga serta mampu berpartisipasi dalam kegiatan baik dilingkungan keluarga, kelompok maupun sosial kemasyarakatan. Tercapainya k-leadaan tersebut diperlukan fungsi-fungsi sistem tubuh yang adekuat, sehingga tidak terjadi keterbatasan baik fisik maupun psikologis (Marlina, 2012)
2.3.2        Jenis Mobilitas
Menurut (A. Aziz, 2009) Jenis Mobilitas fisik di bagi menjadi dua, yaitu :
a.       Mobilitas penuh
Merupan kemampuan seseorang untuk bergerak secara penuh dan bebas senhingga dapat melakukan interaksi sosial dan menjalankan peran sehari-hari. Mobilitas penuh ini merupakan fungsi saraf motorik volunter dan sensorik untuk dapat mengontrol seluruh area tubuh seseorang.
b.      Mobilitas sebagian
Merupakan kemampuan seseorang untuk bergerak dengan batasan jelas dan tidak mampu bergerak secara bebas karena dipengaruhi oleh gangguan saraf motorik dan sensorik pada area tubuhnya. Hal ini dapat dijumpai pada kasus cedera atau patah tulang dengan pemasangan traksi pasien paraplegi dapat mengalami mobilitas sebagian pada ekstremitas bawah karena kehilangan kontrol motorik dan sensorik. Mobilitas sebagaian ini dibagi menjadi dua jenis, yaitu :
1. Mobilitas sebagian temporer
Merupan kemampuan individu untuk bergerak dengan batasan yang sifatnya sementara. Hal tersebut dapat disebebkan oleh trauma dislokai sendi, dan tulang.
2. Mobilitas sebagian permanen
Merupakan kemampuan individu untuk bergerak dengan batasan sifatnya menetap. Hal tersebut disebabkan oleh rusaknya sistem saraf yang reversibel, contohnya terjadinya hemiplegia karena stroke, paraplegia karena cedera tulang belakang poliomielitis karena terganggunya sistem saraf motorik dan sensorik
2.3.3        Faktor Yang Mempengaruhi Mobilitas Fisik
Menurut (A. Aziz, 2009) Mobilitas seseorang dapat dipengaruhi oleh beberapa faktor, di antaranya:
1.      Gaya Hidup
Perubahan gaya hidup dapat memengaruhi kemampuan mobilitas seseorang karena gaya hidup berdampak pada perilaku atau kebiasaan sehari-hari.
2.      Proses Penyakit/ Cedera
Proses penyakit dapat memengaruhi kemampuan mobilitas karena dapat memengaruhi fungsi sistem tubuh. Sebagai contoh, orang yang menderita fraktur femur akan mengalami keterbatasan pergerakan dalam ekstremitas bagian bawah.
3.      Kebudayaan
Kemampuan melakukan mobilitas dapat juga dipengaruhi kebudayaan. Sebagai contoh, orang yang memiliki budaya sering berjalan jauh memiliki kemampuan mobilitas yang kuat; sebaliknya ada orang yang mengalami gangguan mobilitas (sakit) karena adat dan budaya tertentu dilarang untuk beraktivitas.
4.      Tingkat Energi
Energi adalah sumber untuk melakukan mobilitas. Agar seseorang dapat melakukan mobilitas dengan baik, dibutuhkan energi yang cukup.
5.      Usia dan Status Perkembangan
Terdapat perbedaan kemampuan mobilitas pada tingkat usia yang berbeda. Hal ini dikarenakan kemampuan atau kematangan fungsi alat gerak sejalan dengan perkembanganusia.
2.3.4        Prinsip Dasar Latihan ROM
Menurut (Maimurahman, Havid, n.d.) prinsip dasar latihan ROM yaitu :
1.      ROM harus diulang sekitar 8 kali dan dikerjakan minimal 2 kali sehari.
2.      ROM dilakukan perlahan dan hati-hati agar tidak melelahkan pasien.
3.      Dalam merencanakan program latihan ROM, perhatikan umur pasien, diagnosis, tanda vital, dan lamanya tirah baring.
4.      ROM sering diprogramkan oleh dokter dan dikerjakan oleh fisioterapi atau perawat
5.      Bagian-bagian tubuh yang dapat dilakukan ROM adalah leher, jari, lengan, siku, bahu, tumit, kaki, dan pergelangan kaki.
6.      ROM dapat dilakukan pada semua persendian atau hanya pada bagian-bagian yang dicurigai mengalami proses penyakit.
7.      Melakukan ROM harus sesuai dengan waktunya, misalnya setelah mandi atau perawatan rutin telah dilakukan.
                      Pasien yang mengalami keterbatasan mobilisasi seperti pada pasien stroke dan keterbatasan anggota gerak atas khususnya sangat efektif untuk mendapatkan latihan ROM untuk mencegah keterbatasan lebih lanjut seperti kontraktur. Hal ini disebabkan karena dengan adanya latihan gerak sendi yang berupa gerakan yang melibatkan aktivitas sekelompok otot maka akan timbul tonus otot yaitu suatu keadaan normal dari tegangan otot yang berupa gerakan kontraksi dan relaksasi yang mana memungkin tubuh mencapai gerakan fungsional dan mencegah kelemahan otot (Nurbaeni & Sudiana, 2010)
2.3.5        Pengertian Imobilitas
Imobilitas atau imobilitasi merupakan keadaan di mana seseorang tidak dapat bergerak secara bebas karena kondisi yang mengganggu pergerakan (aktivitas), misalnya mengalami trauma tulang belang, cedera otak berat disertai fraktur pada ekstremitas, dan sebagainya (A. Aziz, 2009)
2.2.6   Jenis Imobilitas
Menurut (A. Aziz, 2009) Jenis Mobilitas fisik di bagi menjadi empat,  yaitu :
a.       Imobilitas fisik
Merupakan pembatasan untuk bergerak secara fisik dengan tujuan mencegah terjadinya gangguan komplikasi pergerakan, seperti pada pasien dengan hemiplegia yang tidak mampu mempertahankan tekanan di daerah paralisis sehingga tidak dapat mengubah posisi tubuhnya untuk mengurangi tekanan.
b.      Imobilitas intelektual
Merupakan keadaan ketika seseorang mengalami keterbatasan daya pikir, seperti pada pasien yang mengalami kerusakan otak akibat suatu penyakit.
c.       Imobilitas Emosional
Keadaan ketika seseorang mengalami pembatasan secara emosional karena adanya perubahan secara tiba-tiba dalam menyesuaikan diri. Sebagai contoh, keadaan stres berat dapat disebabkan karena bedah amputasi ketika seseorang mengalami kehilangan bagian anggota tubuh atau kehilangan sesuatu yang paling dicintai.
d.      Imobilitas sosial
Keadaan individu yang mengalami hambatan dalam melakukan interaksi sosial karena keadaan penyakitnya sehingga dapat memengaruhi peran nya dalam kehidupan sosial.
2.2.7 Perubahan Sistem Tubuh Akibat Imobilitas
Menurut (A. Aziz, 2009) dampak dari imobilitas dalam tubuh dapat memengaruhi sistem tubuh, seperti :
a.       Perubahan Metabolisme
Secara umum imobilitas dapat mengganggu metabolisme ssecara normal, mengingat imobilitas dapat menyebabkan turunnya kecepatan metabolisme dalam tubuh. Hal tersebut dapat dijumpai pada pada menurunnya basal metabolisme rate (BMR) yang menyebabkan berkurangnya energi untuk  perbaikan sel-sel tubuh, sehingga dapat memengaruhi gangguan oksigenasi sel. Perubahan metabolisme imobilitas dapat mengakibatkan proses anabolisme menurun dan katabolisme meningkat. Keadaan ini dapat berisiko meningkatkan gangguan metabolisme. Proses imobilitas dapat juga menyebabkan penurunan ekstresi urine dan peningkatan nitrogen. Hal tersebut dapat ditemukan pada pasien yang mengalami imobilitas pada hari kelima dan keenam. Beberapa dampak perubahan metabolisme, di antaranya adalah pengurangan jumlah metabolisme, atropi kelenjar dan katabolisme protein, ketidakseimbangan cairan dan elektrolit, demineralisasi tulang, gangguan dalam mengubah zat gizi, dan gangguan gastrointestinal.
b.      Ketidakseimbangan Cairan dan Elektrolit
Terjadinya ketidakseimbangan cairan dan elektrolit sebagai dampak dari imobilitas akan mengakibatkan persediaan protein menurun dan konsentrasi protein serum berkurang sehingga dapat mengganggu kebutuhan cairan tubuh. Di samping itu, berkurangnya perpindahan cairan dari intravaskular ke interstisial dapat menyebabkan edema sehingga terjadi ketidakseimbangan cairan dan elektrolit. Imobilitas juga dapat menyebabkan demineralisasi tulang akibat menurunnya aktivitas otot, sedangkan meningkatnya demineralisasi tulang dapat mengakibatkan reabsorbsi kalium.
c.       Gangguan Pengubahan  Zat Gizi
Terjadinya gangguan zat gizi yang disebabkan oleh menurunnya pemasukan protein dan kalori dapat mengakibatkan perubahan zat-zat makanan pada tigkat sel menurun, di mana sel tidak lagi menerima glukosa, asam amino, lemak, dan oksigen dalam jumlah yang cukup untuk melaksanakan aktivitas metabolisme.

d.      Gangguan Fungsi Gastrointestinal
Imobilitas dapat menyebabkan gangguan fungsi gastrointestinal. Hal ini disebabkan karena imobilitas dapat menurunkan hasil makanan yang dicerna, sehingga penurunan jumlah masukan yang cukup dapat menyebabkan keluhan, seperti perut kembung, mual, dan nyeri lambung yang dapat menyebabkan gangguan proses eliminasi.
e.       Perubahan Sistem Pernapasan
Imobilitas menyebabkan terjadinya perubahan sistem pernapasan. Akibat imobilitas, kadar haemoglobin menurun, ekspansi paru menurun, dan terjadinya lemah otot yang dapat menyebabkan proses metabolisme terganggu. Terjadinya penurunan kadar haemoglobin dapat menyebabkan penurunan aliran oksigen dari alveolu ke jarigan, sehingga mengakibatkan anemia. Penurunan ekspansi paru dapat terjadi karena tekanan yang meningkat oleh permukaan paru.
f.       Perubahan Kardiovaskuler
                        Perubahan sistem kardiovaskular akibat imobilitas antara lain dapat berupa hipotensi ortostatik, meningkatnya kerja jantung, dan terjadinya pembentukan trombus. Terjadinya hipotensi ortostatik dapat disebabkan oleh menurunnya kamampuan saraf otonom. Pada posisi yang tetap dan lama, refleks neurovaskular akan menurun dan menyebabkan vasokonstriksi, kemudian darah terkempul pada vena bagian bawah sehingga aliran darah ke sistem sirkulasi pusat terhambat. Meningkatnya kerja jantung dapat disebabkan karena imobilitas dengan posisi horizontal. Dalam keadaan normal, darah yang terkumpul pada ekstremitas bawah bergerak dan meningkatkan aliran vena kembali je jantung dan akhirnya jantung akan meningkatkan kerjanya. Terjadinya trombus juga disebabkan oleh meningkatnya vena statis yang merupakan hasil penurunan kontraksi muskular sehingga meningkatkan arus balik vena.
g.      Perubahan Sistem Muskuloskeletal
perubahan yang terjadi dalam sistem muskuloskeletal sebagai dampak dari imobilitas adalah sebagai berikut :
2.      Gangguan Muskular
Menurunnya massa otot sebagai sebagai dampak imobilitas dapat menyebabkan turunnya kekuatan otot secara langsung. Menurunnya fungsi kapasitas otot ditandai dengan menurunnya stabilitas. Kondisi berkurangnya massa otot dapat menyebabkan atropi pada otot. Sebagai contoh, otot betis seseorang yang telah dirawat lebih dari enam minggu ukurannya akan lebih kecil selain menunjukkan tanda lemah atau lesu.

3.      Gangguan Skeletal
Adanya imobilitas juga dapat menyebabkan gangguan skeletal, misalnya akan mudah terjadinya kontraktur sendi dan osteoporosis. Kontraktur merupakan kondisi yang abnormal dengan kriteria adanya fleksi dan fiksasi yang disebabkan atropi dan memendeknya otot. Terjadinya kontraktur dapat menyebabkan sendi dalam kedudukan yang tidak berfungsi. Osteoporosis tejadi karena reabsorbsi tulang semakin besar, sehingga yang menyebabkan jumlah kalsium ke dalam darah menurun dan jumlah kalsium yang dikeluarkan melalui urine semakin besar.
h.      Perubahan Sistem Integumen
Perubahan sistem integumen yang terjadi berupa penurunan elastisitas kulit karena menurunnya sirkulasi darah kibat imobilitas dan terjadinya iskemia serta nekrosis jaringan superfisial dengan adanya luka dekubitus sebagai akibat tekanan kulit yang kuat dan sirkulasi yang menurun ke jaringan.
i.        Perubahan Eliminasi
Perubahan dalam eliminasi misalnya penurunan jumlah urine yang mungkin disebabkan oleh kurangnya asupan dan penurunan curah jantung sehingga aliran darah renal dan urine berkurang.
j.        Perubahan Perilaku
Perubahan perilaku sebagai akibat imobilitas, antara lain timbulnya rasa bermusuhan, bingung, cemas, emosional tinggi, depresi, perubahan siklus tidur, dan menurunnya koping mekanisme. Terjadinya perubahan perilaku tersebut merupakan dampak imobilitas karena selama proses imobilitas seseorang akan mengalami perubahan peran, konsep diri, kecemasan, dan lain-lain.


















2.4 Konsep Asuhan Keperawatan
Konsep Asuhan Keperawatan menurut (Hidayat, 2009).
2.4.1 Pengkajian
a.         Pengkajian Keperawatan
          Pengkajian pada masalah pemenuhan kebutuhan mobilitas dan imobilitas adalah sebagai berikut :
1.        Riwayat Keperawatan Sekarang
Pengkajia riwayat pasien saat ini meliputi alasan pasien yang menyebabkan terjadi keluhan/ gangguan dalam mobilitas dan imobilitas, seperti adanya nyeri, kelemahan otot, kelelahan, tingkat mobilitas dan imobilitas, daerah terganggunya mobilitas dan imobilitas, dan lama terjadinya gangguan mobilitas.
2.        Riwayat Keperawatan Penyakit yang Pernah Diderita
Pengkajian riwayat penyakit yang berhubungan dengan pemenuhan kebutuhan mobilitas, misalnya adanya riwayat penyakit sistem neurologis (kecelakaan cerebrovaskular, trauma kepala, peningkatan tekanan intrakranial, miasteni gravis, guillain barre, cedera medula spinalis, dan lain-lain), riwayat penyakit sistem kardiovaskular (infark miokard, gagal jantung kongestif), riwayat penyakit sistem muskuloskeletal (osteoporosis, fraktur, artritis), riwayat penyakit sistem pernafasan (penyakit paru obstruksi menahun, pneumonia, dan lain-lain), riwayat pemakaian obat, seperti sedativa, hipnotik, depresan sistem saraf pusat, laksansia.

3.        Kemampuan Fungsi Motorik
Pengkajian fungsi motorik antara lain pada tangan kanan dan kiri, kaki kanan dan kiri untuk menilai ada atau tidaknya kelemahan, kekuatan, atau spastik.
4.        Kemampuan Mobilitas
Pengkajian kemampuan mobilitas dilakukan dengan tujuan untuk menilai kemampuan gerak ke posisi miring, duduk, berdiri, bangun, dan berpindah tanpa bantuan. Kategori tingkat kemampuan aktivitas adalah sebagai berikut :
Tingkat Aktivitas/mobilitas
Kategori
Tingkat 0
Mampu merawat diri sendiri secara penuh.
Tingkat 1
Memerlukan penggunaan alat.
Tingkat 2
Memerlukan bantuan atau pengawasan orang lain.
Tingkat 3
Memerlukan bantuan, pengawasan orang lain, dan peralatan.
Tingkat 4
Sangat tergantung dan tidak dapat melakukan atau bepartisipasi dalam perawatan.
(sumber : (Hidayat, 2009)
5.        Kemampuan Rentang Gerak
Pengkajian rentang gerak (range of motion-ROM) dilakukan pada daerah seperti bahu. siku, lengan, dan kaki.
Gerak Sendi
Derajat Rentang Normal
Bahu
Adduksi : Gerakan lengan ke lateral dari posisi samping ke atas kepala, telapak tangan menghadap ke posisi jauh.
180
Siku
Fleksi : angkat lengan bawah ke arah depan dan ke arah atas menuju bahu.
150
Pergelangan tangan
Fleksi : tekuk jari-jari tangan ke arah bagian dalam lengan bawah.

80-90
Ekstensi : luruskan pergelangan tangan dari posisi fleksi.

80-90
Hiperekstensi :tekuk jari-jari tangan ke arah belakang sejauh mungkin..


70-90
Abduksi : tekuk pergelangan tangan ke sisi ibu jari ketika telapak tangan menghadap ke atas.
0-20
Adduksi : tekuk pergelangan tangan ke arah kelingking, telapak tangan menghadap ke atas.
30-50
Tangan dan jari

Fleksi : buat kepalan tangan
90
Ekstensi : luruskan jari
90
Hiperekstensi : tekuk jari-jari tangan ke belakang sejauh mungkin.
30
Abduksi : kembangkan jari tangan.
20
Adduksi : rapatkan jari-jari tangan dari posisi abduksi
20

6.        Perubahan Intoleransi Aktivitas
Pengkajian intoleransi aktivitas yang berhubungan dengan perubahan pada sisten pernapasan, antara lain suara napas, analisis gas darah, gerakan dinding thorak, adanya mukus, batuk yang produktif diikuti panas, dan nyeri saat respirasi. Pengkajian intoleransi aktivitas terhadap perubahan sistem kardiovaskular, seperti nadi dan tekanan darah, gangguan sirkulasi perifer, adanya trombus, serta perubahan tanda vital setelah melakukan aktivitas atau perubahan posisi
7.        Kekekuatan Otot Gangguan koordinasi
Dalam mengkaji kekuatan otot dapat ditentukan kekuatan secara bilateral atau tidak.
Menurut (Hidayat, 2009) derajat kekeuatan otot dapat ditentukan dengan :
skala
Presentasi Kekuatan Normal
Karakteristik
0
0
Paralisis sempurna
1
10
Tidak ada gerakan, kontraksi otot dapat di palpasi atau dilihat.
2
25
Gerakan otot penuh melawan gravitasi dengan topangan
3
50
Gerakan yang normal melawan gravitasi
4
75
Gerakan penuh yang normal melawan gravitasi dan melawan tahanan minimal.
5
100
Kekuatan normal, gerakan penuh yang normal melawan gravitasi dan tahanan penuh.

8.        Perubahan Psikologis
Pengkajian perubahan psikologis yang disebabkan oleh adanya gangguan mobilitas dan imobilitas, antara lain perubahan perilaku, peningkatan emosi, perubahan dalam mekanisme koping, dan lain-lain.

b.         Diagnosa Keperawatan
1.    Kerusakan mobilitas fisik yang berhubungan dengan hemiparesis, kehilangan keseimbangan dan koordinasi, spastisitas, dan cedera otak.
2.    Gangguan penurunan curah jantung akibat imobilitas.
3.    Intoleransia aktivitas akibat menurunnya fleksibilitas otot.
4.    Nyeri (bahu nyeri ) yang berhubungan dengan hemiplegia dan disuse.
5.    Kurang perawatan diri (higiene, toileting, berpindah, makan) yang berhubungan dengan gejala sisa stroke.
6.    Perubahan proses berpikir yang berhubungan dengan kerusakan otak, konfusi, ketidakmampuan untuk mengikuti instruksi.
7.    Kerusakan komunikasi verbal yang berhubungan dengan kerusakan otak
8.    Perubahan nutrisi (kurang dari kebutuhan) akibat menurunnya nafsu makan (anoreksia) akibat sekresi lambung menurun, penurunan peristaltik usus.
c.         Intervensi Keperawatan
Tujuan :
1.      Meningkatkan kekuatan, ketahanan otot, dan fleksibitas sendi.
2.      Meningkatkan fungsi kardiovaskular.
3.      Meningkatkan fungsi gastrointestinal.
4.      Meningkatkan sistem fungsi perkemihan.
5.      Memperbaiki gangguan psikologis,


1.              Meningkatkan Kekuatan, ketahanan Otot, dan Fleksibitas Sendi.
Meningkatkan kekuatan dan ketahanan otot pada pasien dengan pemenuhan kebutuhan mobilitas dan imobilitas dapat dilakukan dengan cara
a.       Pengaturan posisi dengan cara mempertahankan posisi dalam postur tubuh yang benar. Cara ini dapat dilakukan dengan membuat sebuah jadwal tentang perubahan posisi selama kurang lebih setengah jam. Pelaksanaannya dilakukan secara bertahap agar kemampuan kekuatan otot dan ketahanan dapat meningkat secara berangsur-angsur.
b.      Ambulasi dini merupakan salah satu tindakan yang dapat meningkatkan kekuatan dan ketahanan otot. Hal ini dapat dilakukan dengan cara melatih posisi duduk di tempat tidur, turun dari tempat tidur, berdiri di samping tempat tidur, bergerak ke kursi roda, dan seterusnya. Kegiatan ini dapat dilakukan secara barangsur-angsur.
c.       Melakukan aktivitas sehari-hari secara mandiri untuk melatih kekuatan dan ketahanan serta kemampuan sendi agar mudah bergerak.
d.      Melatih isotonik dan isometrik. Latihan ini juga dapat digunakan untuk melatih kekuatan dan ketahanan otot dengan cara mengangkat beban yang ringan, kemudian beban yang berat. Latihan isotonik (dynamic exercise) dapat dilakukan dengan rentang gerak (ROM) secara aktif, sedangkan latihan isometrik (static exercise) dapat dilakukan dengan meningkatkan curah jantung ringan dan nadi.
e.       Latihan ROM, baik secara aktif maupun pasif, ROM merupakan tindakan untuk mengurangi kekakuan pada sendi dan kelemahan pada otot.
2.              Meningkatkan fungsi kardiovaskular
Meningkatkan fungsi kardiovaskular sebagai dampak dari imobilitas dapat dilakukan antara lain dengan cara ambulasi dini, latihan aktif, dan pelaksanaan aktivitas sehari-hari secara mandiri. Hal tersebut dilakukan secara bertahap. Di samping itu, dapat pula dilakukan pengukuran tekanan darah dan sendi setiap kali terjadi perubahan posisi. Untuk meningkatkan sirkulasi vena perifer dapat dilakukan dengan cara mengangkat daerah kaki secara teratur.
3.              Meningkatkan fungsi Gastrointestinal
Meningkatkan fungsi gastrointestinal dapat dilakukan dengan cara mengatur diet tinggi kalori, protein, vitamin, dan mineral. Selain itu, untuk mencegah dampak dari imobilitas dapat dilakukan dengan latihan ambulasi.
4.              Meningkatkan Fungsi Sistem Kemih
Meningkatkan sistem kemih dapat dilakukan dengan latihan atau mengubah posisi serta latihan mempertahankannya. Pasien dianjurkan untuk minum 250 cc per hari atau lebih, dan menjaga kebersihan perineal. Apabila pasien tidak dapat buang air kecil secara normal, dapat dilakukan kateterisasi. Di samping itu, untuk mencegah inkontinensia urine, dapat dilakukan dengan cara minum banyak pada siang hari dan minum sedikit pada malam hari.
5.              Memperbaiki Gangguan Psikologis
Meningkatkan kesehatan mental dan mengurangi emosi sebagai dampak dari imobilitas dapat dilakukan dengan melakukan komunikasi secara terapeutik dengan berbagai perasaan, membantu pasien untuk mengekspresikan kecemasannya, meningkatkan privasi pasien, memberikan dukungan moril, mempertahankan citra diri, menganjurkan untuk melakukan interaksi sosial, mengajak untuk berdiskusi tentang masalah yang dihadapi, dan seterusnya.






                                                                                           







Komentar

Postingan populer dari blog ini

tugas gizi diet

BAB I PENDAHULUAN A.     Latar Belakang  Konstipasi atau  sembelit adalah terhambatnya defekasi (buang air besar) dari kebiasaan normal. Dapat diartikan sebagai defekasi yang jarang, jumlah feses kurang, atau fesesnya keras dan kering. Konstipasi juga dapat diartikan sebagai keadaan dimana membengkaknya jaringan dinding dubur (anus) yang mengandung pembuluh darah balik (vena), sehingga saluran cerna seseorang yang mengalami pengerasan feses dan kesulitan untuk melakukan buang air besar. Semua orang dapat mengalami konstipasi, terlebih pada lanjut usia (lansia) akibat gerakan peristaltik (gerakan semacam memompa pada usus, red) lebih lambat dan kemungkinan sebab lain yakni penggunaan obat-obatan seperti aspirin, antihistamin, diuretik, obat penenang dan lain-lain. Kebanyakan terjadi jika makan makananan yang kurang berserat, kurang minum, dan kurang olahraga. Kondisi ini bertambah parah jika sudah lebih dari tiga hari berturut-turut.    Ko...

9 prinsip mahasiswa prestasi

Hy Guys, kamu mahasiswa ? Setiap mahasiswa pasti mempunyai cita-cita dan impian untuk meraih prestasi. Semangat inilah yang sudah tertanam sejak pertama kali menjadi mahasiswa baru. Tentunya bukan hanya sekedar prestasi akademik semata, akan tetapi juga prestasi dalam bidang yang lainnya (softskill dan hardskill). Kenapa harus berprestasi? Karena setiap mahasiswa memiliki hak untuk berprestasi. Selain itu, prestasi juga mampu mengangkat citra positif intistusi (kampus) menjadi daya tawar bagi masyarakat. Karena setiap mahasiswa mempunyai hak yang sama untuk menjadi mahasiswa berprestasi. Mahasiswa Berprestasi dinilai bukan hanya berdasarkan aspek akademiknya saja melainkan juga dari  ekstrakurikuler. Mapres bukan di tentukan apakah ia senior atau tidak. Melainkan berdasarkan seberapa jauh ia memiliki tekad untuk mewujdukan impiannya. Nah, apa saja prinsip seorang Mapres ? Berikut penjelasannya !  1.    Review Materi Kuliah Hal ini jarang banget dilakuk...

tugas modul gizi diet kelompok 6

MODUL GIZI KELOMPOK 6: Erta Aninda Delvia Fara Ony Chandra M. Muhaimin Hanif Fauzan Nanda Faiza A Meirista Devi SUB BAHASAN 1.       Kurang Kalori Protein (KKP) 2.       Anemia Gizi Besi 3.       Kurang Vitamin A 4.       Gangguan Akibat Kekurangan Yodium (GAKY) 5.       Cacingan 6.       Makanan Per Enteral 7.       Makanan Parenteral 1.       Kurang Kalori Protein A.     Definisi Kekurangan kalori protein adalah defisiensi gizi terjadi pada anak yang kurang mendapat masukan makanan yang cukup bergizi, atau asupan kalori dan protein kurang dalam waktu yang cukup lama (Ngastiyah, 1997). Kurang kalori protein (KKP) adalah suatu penyakit gangguan gizi yang dikarena...