BAB 1
PENDAHULUAN
Bab ini akan diuraikan tentang
latar belakang penelitian, rumusan masalah, tujuan penelitian serta mamfaat
penelitian.
1.1
Latar Belakang
Menurut
Nabyl (2012), stroke yaitu suatu kondisi yang terjadi ketika pasokan darah ke
suatu bagian otak tiba-tiba terganggu, karena sebagian sel-sel otak mengalami
kematian akibat gangguan aliran darah karena sumbatan atau pecahnya pembuluh
darah otak. Sementara WHO (World Heart Organisation) mendefinisikan bahwa
stroke adalah gejala-gejala defisit fungsi sususnan saraf yang diakibatkan oleh
penyakit pembuluh darah otak dan bukan oleh yang lain (Sari Indah Permata,
2015).
Pasien
yang menderita penyakit stroke tentunya akan mengalami berbagai problematika,
keterbatasan dan hambatan pada semua tingkat termasuk struktur tubuh, fungsi
tubuh, aktifitas dan partisipasi dalam lingkungan dan kehidupan sehari-hari
sehingga sangat banyak penderita stroke akan selalu membutuhkan peran keluarga
atau orang lain diluar dirinya sendiri sebagai pendamping dalam menyelesaikan
aktifitas kerja dan tugas sehari-hari demi memenuhi semua kebutuhan dasar dan
kebutuhan tambahan bagi dirinya yang mengalami gangguan akibat sakit sehingga
dalam hal ini akan terjadi masalah ketidakmandirian individu yang merupakan
masalah pokok yang dihadapi oleh mereka sebagai pasien itu sendiri maupun bagi
keluarga sebagai orang terdekatnya (Meidia. A.C., D.P,
& Irfan, 2014)
Data
Riskesdas tahun 2013 menunjukkan prevalensi penyakit tidak menular di Indonesia
cukup tinggi yaitu stroke sebesar 12,1‰, hipertensi sebesar 25,8%, diabetes
melitus sebesar 2,1%, dan penyakit jantung koroner sebesar 1,5% (Rahayu, 2016). Di negara dengan tingkat perekonomian rendah dan
sedang, penyakit tidak menular menyebabkan kematian sebesar 29% dari seluruh
kematian pada penduduk usia kurang dari 60 tahun, sedangkan di negara maju
sebesar 13%. Peningkatan insiden dan prevalensi penyakit tidak menular
berkaitan erat dengan modernisasi dunia, peningkatan usia harapan hidup, dan
perbaikan tingkat kesejahteraan masyarakat yang tidak diimbangi dengan pola
hidup yang sehat (Rahayu, 2016)
Jumlah
penderita penyakit stroke di
Indonesia tahun 2013 berdasarkan diagnosis tenaga kesehatan (Nakes)
diperkirakan sebanyak 1.236.825 orang (7,0‰), sedangkan berdasarkan diagnosis
Nakes/gejala di perkirakan sebanyak 2.137.941 orang (12,1‰). Berdasarkan diagnosis
Nakes maupun diagnosis/ gejala, Provinsi Jawa Timur memiliki estimasi jumlah
penderita terbanyak yaitu sebanyak 190.449 orang (6,6‰) dan 302.987orang
(10,5‰), Penderita penyakit jantung koroner, gagal jantung dan stroke banyak
ditemukan pada kelompok umur 45-54 tahun, 55-64 tahun dan 65-74 tahun (Kemenkes RI, 2014). Sedangkan jumlah penderita stroke di desa Sumber
Porong RW 13 berjumlah 5 orang sedangkan di RW 16 berjumlah 1 orang Kecamatan
Lawang Kabupaten Malang tahun 2018.
Stroke
atau Cerebrovascular disease menurut
World Health Organization (WHO) adalah “tanda-tanda klinis yang berkembang
cepat akibat gangguan fungsi otak fokal atau global karena adanya sumbatan atau
pecahnya pembuluh darah di otak dengan gejala- gejala yang berlangsung selama
24 jam atau lebih” (Arifianto, Sarosa,
& Setyawati, 2014). Stroke adalah gangguan tiba-tiba suplai darah ke
otak. Sebagian besar stroke disebabkan oleh penyumbatan arteri tiba-tiba
(stroke iskemik). Stroke lainnya disebabkan oleh pendarahan ke jaringan otak
ketika pembuluh darah pecah (stroke hemoragik) (Clinic, 2018)
Menurut
Nastiti (2012) Faktor penyebab stroke diantaranya Hipertensi, kadar glukosa dan
kolesterol darah yang tinggi, penyakit jantung, faktor perilaku misalnya
perilaku merokok dan gemar minum alkohol, stress serta penyebab lain (Erawantini &
Chairina, 2016).
Stroke merupakan penyebab kecacatan kronik yang paling tinggi pada kelompok umur
di atas usia 45 tahun. Jumlah dan status ekonomi, sindroma metabolik meliputi
obesi- tas yang umum dan sentral, hipertensi, dislipidemia, hiperglukosa serta
perilaku berisiko meliputi merokok, konsumsi alkohol, kurang aktivitas fisik,
kurang konsumsi buah/sayur (Riyadina &
Rahajeng, 2013)
Efek
dari stroke tergantung pada tingkat keparahan dan area otak mana yang terluka.
Stroke dapat menyebabkan kelemahan mendadak, kehilangan sensasi, atau kesulitan
berbicara, melihat, atau berjalan (Clinic, 2018). Stroke dapat mempengaruhi kehidupan pasien dalam
berbagai aspek (fisik, emosional, psikologis, kognitif, dan sosial). Tingkat
kecacatan fisik dan mental pada pasien pasca stroke dapat mempengaruhi kualitas
hidup pasien (Bariroh, S, & A,
2016).
Gejala sisa pada stroke mencakup komplikasi diantaranya 80% pasien stroke
mengalami penurunan parsial atau total gerakan dan kekuatan lengan atau tungkai
di salah satu sisi tubuh (kelumpuhan parsial disebut paresis, kelumpuhan total
disebut paralisis). Selain itu 30% mengalami masalah komunikasi atau tidak
mampu berbicara, selanjutnya 30% mengalami kesulitan menelan (disfagia), 10%
mengalami masalah melihat benda-benda di satu sisi (hemianopia) 10 % lagi
mengalami penglihatan ganda (diplopia). Kurang dari 10% mengalami gangguan
koordinasi saat duduk, berdiri atau berjalan, 30% mengalami orientasi kiri
kanan bahkan tidak menyadari masalahnya. Hingga 70% mengalami gangguan suasana
hati, 20% merasakan nyeri bahu. Kurang dari 10% mengalami kejang atau epilepsi,
bahkan menderita sakit kepala (Mariana, 2014).
Menurut
muttaqin, 2008 Masalah keperawatan yang sering terjadi pada pasien stroke
adalah perubahan perfusi jaringan otak, hambatan mobilitas fisik, resiko
gangguan integritas kulit, kerusakan komunikasi verbal, resiko
ketidakseimbangan nutrisi (Wicaksono, 2017)
Salah
satu masalah keperawatan yang perlu penanganan lebih lanjut yaitu hambatan
mobilitas fisik, karena pasien stroke akan merasa kehilangan kekuatan pada
salah satu anggota gerak. Pada penderita stroke atau lumpuh separuh badan,
biasanya penderita akan mengalami kesulitan dalam melakukan aktifitas karena
keterbatasan ruang gerak(Wicaksono, 2017)
Masalah yang sering dialami oleh penderita
stroke dan yang paling ditakuti adalah gangguan
gerak. Penderita mengalami kesulitan saat berjalan karena mengalami gangguan
pada kekuatan otot, keseimbangan dan koordinasi gerak. Pasien stroke bukan
merupakan kasus kelainan muskuloskeletal, tetapi kondisi stroke merupakan
kelainan dari otak sebagai susunan saraf pusat yang mengontrol dan mencetuskan
gerak dari sistem neuromuskuloskeletal. Secara klinis gejala yang sering muncul
adalah hemiparesis (M & Kusgiarti,
2017)
Keadaan
hemiparesis merupakan salah satu faktor yang menjadi penyebab hilangnya mekanisme
refleks postural normal, seperti mengontrol siku untuk bergerak, mengontrol
gerak kepala untuk keseimbangan, rotasi tubuh untuk gerak-gerak fungsional pada
ekstremitas. Gerak fungsional merupakan gerak yang harus distimulasi secara
berulang – ulang, supaya terjadi gerakan yang terkoordinasi secara disadari
serta menjadi refleks secara otomatis berdasarkan ketrampilan aktifitas
kehidupan sehari- sehari (AKS) (M & Kusgiarti,
2017).
Penatalaksanaan
yang bisa dilakukan pada pasien stroke dengan kelemahan otot, selain terapi
medikasi atau obat-obatan bisa dilakukan fisioterapi / latihan : latihan beban,
keseimbangan, dan latihan ROM (Range Of Motion) (M & Kusgiarti,
2017).
Menurut
Suryadi (2013) perawat mempunyai peranan dalam berinteraksi dengan pasien yang
dapat mempengaruhi kesehatan sehingga pasien memiliki derajat kesehatan yang
lebih tinggi (Fleeson et al.,
2017).
Perawat memiliki peran penting dalam memberikan asuhan keperawatan individu
yang sesuai dengan diagnosis masalah
sederhana sampai yang kompleks. Sehubungan dengan masalah diatas maka peran
perawat yang digunakan yaitu memberi asuhan keperawatan untuk meningkatkan mutu
pelayanan kesehatan termasuk meningkatkan pengetahuan dan perilaku kelompok
lansia dalam menangani gangguan mobilitas fisik yang benar karena jika gangguan
mobilitas fisik tersebut tidak teratasi dengan baik dan benar maka akan
mengganggu aktivitas fisik klien.
1.2 Identifikasi
Masalah
Bagaimanakah asuhan
keperawatan pada lansia Stroke dengan Masalah Mobilitas di Desa Sumber porong
Lawang?
1.3. Tujuan
1. Tujuan Umum
Untuk
mendapatkan gambaran tentang asuhan keperawatan pada lansia penderita stroke
dengan masalah mobilitas fisik di desa Sumberporong Lawang
2. Tujuan Khusus
1.Untuk mendapatkan gambaran tentang pengkajian
keperawatan pada lansia yang mengalami stroke
2. Untuk mendapatkan gambaran tentang diagnosis
keperawatan pada lansia yang mengalami stroke
3. Ubntuk mendapatkan gambaran tentang perencanaan
keperawatan pada lansia yang mengalami stroke
4. Untuk mendapatkan gambaran tentang pelaksanaan
tindakan keperawatan pada lansia yang mengalami stroke
5. Untuk mendapatkan gambaran tentang evaluasi keperawatan
pada lansia yang mengalami stroke
1.4
Manfaat
1. Manfaat Teoritis
Membantu
untuk lebih memahami tentang masalah gangguan mobilitas fisik pada lansia
penderita stroke kepada para pembaca guna agar bisa mencegah timbulnya stroke
di masa lansia dan untuk lansia bisa lebih meningkatkan kualitas hidup yang
lebih baik agar komplikasi stroke tidak muncul kembali. Dimana stroke merupakan
masalah kesehatan yang berpengaruh pada faktor resiko kardiovaskuler lainnya,
seperti penyakit jantung koroner dan masalah kardiovaskuler lainnya. Penulisan
karya tulis ilmiah ini juga berfungsi untuk membandingkan antara teori dan
kasus nyata yang terjadi di lapangan/ sekitar masyarakat, apakah teori yang ada
dan kasus yang ada disekitar masyarakat sesuai/tidak sehingga tersusunlah karya
tulis ilmiah ini.
2. Manfaat praktis
1. Bagi Perawat Karya tulis ilmiah ini diharapkan dapat
memberi informasi dan menambah wawasan bagi perawat dalam memberikan asuhan
keperawatan pada lansia penderita stroke dengan masalah gangguan mobilitas
fisik.
2. Bagi Institusi Pendidikan
Manfaat
praktis bagi institusi akademik yaitu dapat digunakan sebagai referensi bagi
institusi pendidikan untuk mengembangkan ilmu pengetahuan tentang asuhan
keperawatan pada lansia dengan stroke
dengan masalah gangguan mobilitas fisik.
3. Bagi Pasien dan Keluarga
karya
tulis ilmiah ini diharapkan dapat membantu pasien agar mendapatkan asuhan
keperawatan yang tepat dan keluarga agar lebih mengetahui tentang penyakit
stroke dengan masalah gangguan mobilitas fisik.
4. Bagi Pembaca
Karya
tulis ilmiah ini diharapkan dapat menambah ilmu dan wawasan bagi para pembaca
agar dapat mengetahui bagaimana asuhan keperawatan yang tepat pada lansia
dengan stroke dengan masalah gangguan mobilitas fisik.
BAB
2
TUNJAUAN
PUSTAKA
Bab ini menjelaskan
tentang konsep lansia, konsep stroke, konsep mobilitas dan kerangka konseptual
2.1 Konsep Dasar Lansia
2.1.1 Pengertian Lansia
Lansia adalah seseorang yang telah
mencapai usia 60 tahun ke atas. Menua bukanlah suatu penyakit, tetapi merupakan
proses yang berangsur-angsur mengakibatkan perubahan kumulatif, merupakan
proses menurunnya daya tahan tubuh dalam menghadapi rangsangan dari dalam dan
luar tubuh, seperti didalam Undang-Undang No 13 tahun 1998 yang isinya
menyatakan bahwa pelaksanaan pembangunan nasional yang bertujuan mewujudkan
masyarakat adil dan makmur berdasarkan Pancasila dan Undang- Undang Dasar 1945,
telah menghasilkan kondisi sosial masyarakat yang makin membaik dan usia
harapan hidup makin meningkat, sehingga jumlah lanjut usia makin bertambah.
Banyak diantara lanjut usia yang masih produktif dan mampu berperan aktif dalam
kehidupan bermasyarakat, berbangsa dan bernegara. Upaya peningkatan
kesejahteraan sosial lanjut usia pada hakikatnya merupakan pelestarian nilai-nilai
keagamaan dan budaya bangsa (Dalgleish et al.,
2007)
Masa lanjut usia (lansia) adalah masa
perkembangan terakhir dalam hidup manusia. Dikatakan sebagai perkembangan
terakhir oleh karena ada sebagian anggapan bahwa perkembangan manusia berakhir
setelah manusia menjadi dewasa (Jobans E, 1994). WHO (2009) menya- takan masa lanjut usia menjadi
empat golongan, yaitu usia pertengahan (middle age) 45-59 tahun, lanjut usia
(elderly) 60-74 tahun, lanjut usia tua (old) 75–90 tahun dan usia sangat tua
(very old) di atas 90 tahun (Naftali, Ranimpi,
& Anwar, 2017).
Menurut Setyonegoro (dalam Efendi, 2009)
lanjut usia (getriatric age) dibagi menjadi 3 batasan umur, yaitu young old
(usia 70-75 tahun), old (usia 75-80 tahun), dan very old (usia > 80 tahun).
Berdasarkan berbagai pendapat di atas, dapat disimpulkan bahwa lansia merupakan
seseorang yang berusia di atas 60 tahun (Naftali et al.,
2017)
2.1.2 Klasifikasi Lansia
Menurut (Dalgleish et al.,
2007)
ada beberapa batasan lansia sebagai berikut :
a.
WHO (1999)
menjelaskan batasan lansia adalah sebagai berikut :
1.
Usia lanjut
(elderly) antara usia 60-74 tahun
2.
Usia tua (old)
:75-90 tahun
3.
Usia sangat tua
(very old) adalah usia > 90 tahun.
b.
Depkes RI (2005)
menjelaskan bahwa batasan lansia dibagi menjadi tiga katagori, yaitu :
1.
Usia lanjut
presenilis yaitu antara usia 45-59 tahun.
2.
Usia lanjut yaitu usia 60 tahun ke atas
3.
Usia lanjut
beresiko yaitu usia 70 tahun ke atas atau usia 60 tahun ke atas dengan masalah
kesehatan
2.1.3 Teori Proses Menua
Dalam buku
ajar Geriatri, Prof. Dr.R. Boedhi darmojo dan Dr. H. Hadi Martono (1994)
mengatakan bahwa “menua” (menjadi Tua) adalah suatu proses menghilangnya secara
perlahan kemampuan jaringan untuk memperbaiki diri/ mengganti diri dan
mempertahankan struktur dan fungsi normalnya sehingga tidak dapat bertahan
terhadap jejas (termasuk infeksi) dan memperbaiki kerusakan yang diderita. Dari
pernyataan tersebut, dapat disimpulkan bahwa manusia secara perlahan mengalami
kemunduran struktur dan fungsi organ. Kondisi ini dapat memengaruhi kemandirian
dan kesehatan lanjut usia, termasuk kehidupan seksual nya (wahjudi Nugroho, 2008) .
Adapun teori
proses menua menurut (wahjudi Nugroho, 2008) mengatakan ada
beberapa macam teori proses menua diantara nya, yaitu :
1.
Teori Biologis
a. Teori Genetik
Teori
genetik clock. Teori ini merupakan
teori intrinsik yang menjelaskan bahwa di dalam tubuh terdapat jam biologis
yang mengatur gen dan menentukan proses penuaan. Teori ini mengatakan bahwa
menua itu telah terprogram secara genetik untuk spesies tertentu. Setiap
spesies di dalam inti selnya memiliki suatu jam genetik/jam biologis sendiri
dan setiap spesies mempunyai batas usia yang berbeda-beda yang telah diputar
menurut replikasi tertentu sehingga bila jenis ini berhenti berputar, ia akan
mati
Manusia
mempunyai umur harapan hidup nomer dua terpanjang setelah bulus. Secara
teoretis, memperpanjang umur mungkin terjadi, meskipun hanya beberapa waktu
dengan pengaruhi
Tabel 2.1. catatan
rentang hidup (life span) makhluk
yang hidup di alam bebas. (Sumber: Boedi Darmojo, Buku Ajar Geriatri [1999])
Jenis Makhluk
|
Umur
(tahun)
|
Bulus
|
170
|
Manusia
|
116
|
Kerang
|
80
|
Kakak tua
|
70
|
Gajah
|
70
|
Burung hantu
|
68
|
Kuda
|
62
|
Simpanse
|
50
|
Gorila
|
48
|
Beruang
|
47
|
Bangau
|
35
|
Kucing
|
30
|
Anjing
|
27
|
Sapi
|
20
|
Kelinci
|
18
|
Ayam
|
14
|
Tikus
|
5
|
Mencit
|
5
|
Kecoa
|
1
|
Nyamuk
|
5 bulan
|
Lalat
|
70 hari
|
b.
Teori nongenetik
a)
Teori penurunan
sistem imun tubuh (auto-immune theory).
Mutasi yang
berulang dapat menyebabkan berkurang nya kemampuan sistem imun tubuh mengenali
dirinya sendiri(self recognition). Jika
mutasi yang merusak membran sel, akan menyebabkan sistem imun tidak
mengenalinya sehingga merusaknya. Hal inilah yang mendasari peningkatan
penyakit auto-imun pada lanjut usia. Dalam proses metabolisme tubuh, diproduksi
suatu zat khusus. Ada jaringan tubuh tertentu yang tidak tahan terhadap zat
tersebut sehingga jaringan tubuh menjadi lemah dan sakit. Sebagai contoh,
tambahan kelenjar timus yang pada usia dewasa berinvolusi dan sejak itu terjadi
kalainan autoimun.
b)
Teori kerusakan
akibat radikal bebas (free radical
theory)
Teori radikal
bebas dapat terbentuk di alam bebas dan di dalam tubuh karena adanya proses
metabolisme atau proses pernafasan di
dalam mitokondria. Radikal bebas merupakan suatu atom atau melekul yang tidak
stabil karena mempunyai elektron yang tidak berpasangan sehingga sangat reaktif
mengikat atom atau melekul lain yang menimbulkan berbagai kerusakan atau
perubahan dalam tubuh. Tidak stabilnya radikal bebas (kelompok atom) mengakibatkan oksidasi oksigen bahan organik,
misalnya karbohidrat dan protein. Radikal bebas ini menyebabkan sel tidak dapat
bergenerasi. (Halliwel, 1994). Radikal bebas dianggap sebagai penyebab penting
terjadinya kerusakan fungsi sel. Radikal bebas yang terdapat di lingkungan
seperti :
1.
Asap kendaraan
bermotor
2.
Asap rokok
3.
Zat pengawet
makanan
4.
Radiasi
5.
Sinar
ultraviolet yang mengakibatkan terjadinya perubahan pigmen dan kolagen pada
proses menua.
c)
Teori menua
akibat metabolisme.
Telah dibuktikan
dalam berbagai percobaan hewan, bahwa pengurangan asupan kalori ternyata bisa
menghambat pertumbuhan dan memperpanjang umur, sedangkan perubahan asupan
kalori yang menyebabkan kegemukan dapat memperpendek umur (Bahri dan Alem,
1989; Boedhi Darmojo, 1999)
d)
Teori rantai
silang (cross link theory)
Teori ini
menjelaskan bahwa menua disebabkan oleh lemak, protein, karbohidrat, dan asam
nukleat (molekul kolagen) bereaksi dengan zat kimia dan radiasi, mengubah
fungsi jaringan yang menyebabkan perubahan pada membran plasma, yang
mengakibatkan terjadinya jaringan yang kaku, kurang elastis, dan hilangnya
fungsi pada proses menua.
e)
Teori fisiologis
Teori ini
merupakan teori intrinsik dan ekstrinsik. Terdiri atas teori oksidasi stres,
dan teori dipakai-aus (wear and tear
theory). Di sini terjadi kelebihan usaha dan stres mengakibatkan sel tubuh
lelah terpakai (regenerasi jaringan tidak dapat mempertahankan kestabilan
lingkungan internal).
2.
Teori sosiologi
Teori sosiologis
tentang proses menua yang dianut selama ini diantara lain :
a)
Teori interaksi
sosial
Teori ini
mencoba menjelaskan mengapa lanjut usia bertindak pada suatu situasi tententu,
yaitu atas dasar hal-hal yang dihargai mesyarakat. Kemampuan lanjut usia untuk
terus menjalin interaksi sosial merupakan kunci mempertahankan status sosialnya
berdasarkan kemampuan bersosialisasi.
Pokok-pokok sosial exchange theory antara lain:
1.
Masyarakat
terdiri atas aktor sosial yang berupaya mencapai tujuannya masing-masing.
2.
Dalam upaya
tersebut, terjadi interaksi sosial yang memerlukan biaya dan waktu.
3.
Untuk mencapai
tujuan yang hendak dicapai, seorang aktor mengeluarkan biaya.
b)
Teori aktivitas
atau kegiatan
1.
Ketentuan
tentang semakin menurunnya jumlah kegiatan secara langsung. Teori ini
menyatakan bahwa lanjut usia yang sukses adalah mereka yang aktif dan banyak
ikut serta dalam kegiatan sosial.
2.
Lanjut usia akan
merasakan kepuasan bila dapat melakukan aktivitas dan mempertahankan aktivitas
tersebut selama mungkin.
3.
Ukuran optimum
(pola hidup) dilanjutkan pada cara hidup lanjut usia.
4.
Mempertahankan
hubungan antara sistem sosial dan individu agar tetap stabil dari usia
pertengahan sampai lanjut usia.
c)
Teori
kepribadian berlanjut (continuity theory)
Dasar
kepribadian atau tingkah laku tidak berubah pada lanjut usia. Teori ini
merupakan gabungan teori yang disebebkan sebelumnya. Teori ini menyatakan bahwa
perubahan yang terjadi pada seorang lanjut usia sangat dipengaruhi oleh tipe
personalitas yang dimilikinya. Teori ini
mengemukakan adanya kesinambungan dalam siklus kehidupan lanjut usia. Dengan
demikian, pengalaman hidup seseorang pada suatu saat merupakan gambarannya
kelak pada saat ia menjadi lanjut usia. Hal ini dapat dilihat dari gaya hidup,
perilaku, dan harapan seseorang ternyata tidak berubah, walaupun ia telah
lanjut usia.
d)
Teori
pembebasan/ penarikan diri (disangagemen
theory)
Teori ini
membahas putusnya pergaulan atau hubungan dengan masyarakat dan kemunduran
individu dengan individu lainnya.
Pokok-pokok disangagemen theory
1.
Pada pria,
kehilangan peran hidup utama tejadi pada masa pensiun. Pada wanita, terjadi
pada masa peran dalam keluarga berkurang, misalnya saat anak menginjak dewasa
dan meninggalkan rumah untuk belajar dan menikah.
2.
Lanjut usia dan
masyarakat menarik mamfaat dari hal ini karena lanjut usia dapat merasakan
tekanan sosial berkurang, sedangkan kaum muda memperoleh kesempatan kerja yang
lebih baik.
3.
Ada tiga aspek
utama dalam teori ini yang perlu diperhatikan :
a. Proses
menarik diri terjadi sepanjang hidup.
b. Proses
tersebut tidak dapat dihindari.
c. Hal ini
diterima lanjut usia dan masyarakat.
Teori ini menyatakan bahwa dengan
bertambah lanjut usia, apalagi ditambah dengan adanya kemiskinan, lanjut usia
secara berangsur-angsur mulai melepaskan diri dari kehidupan sosialnya atau
menarik diri dari pergaulan sekitarnya. Keadaan ini mengakibatkan interaksi
sosial lanjut usia menurun, baik secara kualitas maupun kuantitas sehingga
sering lanjut usia mengalami kehilangan genda (triple loss) :
1.
Kehilangan peran
(loss of role)
2.
Hambatan kontak
sosial (restriction of contact and
relationship)
3.
Berkurangnya
komitmen (reduced commitment to social
mores and values)
Menurut
teori ini, seorang lanjut usia dinyatakan mengalami proses menua yang berhasil
apabila ia menarik diri dari kegiatan terdahulu dan dapat memusatkan diri pada
persoalan pribadi dan mempersiapkan diri menghadapi kematiannya.
Dari
penyebab terjadinya proses menua tersebut, ada beberapa peluang yang
memungkinkan dapat diintervensi agar proses menua dapat diperlambat.
Kemungkinan yang terbesar adalah mencegah :
1.
Meningkatnya
radikal bebas.
2.
Mamanipulasi
sistem imun tubuh.
3.
Melalui
metabolisme/ makanan, memang berbagai “misteri kehipupan masih banyak yang
belum terungkap, proses menua merupakan salah satu misteri yang paling sulit
dipecahkan”.
Selain
itu, peranan faktor risiko yang datang dari luar (eksogen) tidak boleh
dilupakan, yaitu faktor lingkungan dan budaya gaya hidup yang salah. Banyak
faktor yang memengaruhi proses menua (menjadi tua), antara lain
herediter/genetik, nutrisi/ makanan, status kesehatan, pengalaman hidup,
lingkungan, dan stres. Jadi, proses menua/ menjadi lanjut usia bukanlah suatu
penyakit, karena orang yang meninggal bukan karena tua, orang muda pun bisa
meninggal dan bayi pun bisa meninggal. Banyak mitos mengenai lanjut usia yang
sering merugikan atau bernada negatif, tetapi sangat berbeda dengan kenyataan
yang dialaminya.
2.1.4 Perubahan-Perubahan yang
Terjadi Pada Lanjut Usia
1.
Perubahan Fisik
a.
Sel
Jumlah sel
menurun, ukuran sel lebih besar, jumlah cairan tubuh dan cairan intraselular
berkurang, proporsi protein di otak,otot, ginjal, darah, dan hati menurun,
jumlah sel otak menurun, mekanisme perbaikan sel terganggu, otak menjadi
atropi, beratnya berkurang 5-10%, lakukan otak akan menjadi lebih dangkal dan
melebar.
b.
Sistem
persarafan
Menurunnya
hubungan persarafan,berat otak menurun 10-20%n(sel saraf otak setiap orang
berkurang setiap harinya), respons dan waktu untuk bereaksi lambat, khususnya
terhadap stres, saraf panca-indra mengecil, penglihatan berkurang, pendengaran
menghilang, saraf penciuman dan perasa mengecil, lebih sensitif terhadap
perubahan suhu, dan rendahnya ketahanan terhadap dingin, kurang sensitif
terhadap sentuhan, defisit memori
c.
Sistem
pendenagaran
Gangguan
pendengaran, hilangnya daya pendengaran pada telinga dalam,terutama terhadap
bunyi suara atau nada yang tinggi, suara yang tidak jelas, sulit mengerti
kata-kata, 50% terjadi pada usia di atas umur 65 tahun, membran timpani menjadi
atropi menyebabkan otosklrosis, terjadi pengumpulan serumen, dapat mengeras
karena meningkatnya keratin, fungsi pendengaran semakin menurun pada lanjut
usia yang mengalami ketegangan/stres, titanus (bising yang bersifat mendengung,
bisa bernada tinggi atau rendah, bisa terus-menerus atau intermiten), vertigo
(perasaan tidak stabil yang terasa
seperti bergoyong atau berputar),
d.
Sistem
penglihatan
Sfingter pupil
timbul sklerosis dan respons terhadap sinar menghalang, kornea lebih berbentuk
sferis (bola), lensa lebih suram (kekeruhan pada lensa), menjadi katarak, jelas
menyebabkan gangguan penglihatan, meningkatnya ambang, pengamatan sinar, daya
adaptasi terhadap kegelapan lebih lambat, susah melihat dalam gelap, penurunan/
hilangnya daya akomodasi, dengan manifestasi presbiopia, seseorang sulit
melihat dekat yang dipengaruhi berkurangnya elestisitas lensa, lapang pandang
menurun, luas pandangan berkurang, daya membedakan warna menurun, terutama
warna biru atau hijau pada skala.
e.
Sistem
kardiovaskuler
Katup jantung
menebal dan menjadi kaku, elastisitas dinding aorta menurun, kemampuan jantung
memompa darah menurun 1% setiap tahun sesudah berumur 20 tahun, hal ini
menyebabkan kontraksi dan volume menurun (frekuensi denyut jantung maksimal
=200-umur), curah jantung menurun (isi semenit jantung menurun), kehilangan
elestisitas pembuluh darah, efektivitas pembuluh darah perifer untuk oksigenasi
berkurang, perubahan posisi dari tidur ke duduk (duduk ke berdiri) bisa
menyebabkan tekanan darah menurun menjadi 65 mmHg (mengakibatkan pusing
mendadak), kinerja jantung lebih rentan terhadap kondisi dehidrasi dan
perdarahan, kinerja jantung lebih rentah terhadap kondisi dehidrasi dan
perdarahan, tekanan darah meninggi akibat resistensi pembuluh darah perifer
meningkat, sistole normal 170 mmHg, diastole 95 mmHg
f.
Sistem
pengaturan suhu tubuh
Pada pengaturan
suhu, hipotalamus dianggap bekerja sebagai suatu termostat, yaitu menetapkan
suatu suhu tertentu. Kemunduran terjadi berbagai faktor yang memengaruhinya.
Yang sering
ditemui antara lain :
1.
Temperatur tubuh
menurun (hipotermia) secara fisiologis 35 derajat celcius ini akibat
metabolisme yang menurun.
2.
Pada kondisi
ini, lanjut usia akan merasa kedinginan dan dapat pula menggil, pucat, dan
gelisah.
3.
Keterbatasan
refleks menggigil dan tidak dapat memproduksi panas yang banyak sehingga
terjadi penurunan aktivitas otot.
g.
Sistem
pernafasan
Otot pernapasan
mengalami kelemahan akibat atrofi, kehilangan kekuatan, dan menjadi kaku,
aktivitas silia menurun, paru kehilangan elestisitas, kapasitas residu
meningkat, menarik napas lebih berat, kapasitas pernapasan maksimum menurun
dengan kedalaman bernafas menurun, ukuran alveoli melebar (membesar secara
progresif) dan jumlah berkurang, berkurangnya elastisitas bronkus, oksigen pada
arteri menurun menjadi 75 mmHg, karbon dioksida pada arteri tidak berganti,
pertukaran gas terganggu, refleks dan kemampuan untuk batuk berkurang,
sensitivitas terhadap hipoksia dan hiperkarbia menurun, sering terjadi emfisema
senilis, kemampuan pegas dinding dada dan kekuatan otot pernapasan menurun
seiring pertambahan usia.
h.
Sistem
pencernaan
Kehilangan gigi,
penyebab utama periodontal disease yang
biasa terjadi setelah umur 30 tahun. Penyebab lain meliputi kesehatan gigi dan
gizi yang buruk. Indra pengecap menurun, adanya iritasi selaput lendir yang
kronis, atrofi indra pengecap (80%) , hilangnya sensitivitas saraf pengecap di
lidah, terutama rasa manis dan asin, hilangnya sensitivitas saraf pengecap
terhadap rasa asin, asam, dan pahit. Esofagus melebar. Rasa lapar menurun
(sensitivitas lapar menurun), asam kambung menurun, motilitas dan waktu
pengosongan lambung menurun. Peristaltik lemah dan biasanya timbul konstipasi.
Fungsi absorpi melemah (daya absorpsi terganggu, terutama karbohidrat). Hati
semakin mengecil dan tempat penyimpanan menurun, aliran darah berkurang.
i.
Sistem
reproduksi
Pada wanita
yaitu vagina mengalami kontraktur dan mengecil. Ovari menciut, uterus mengalami
atrofi. Atrofi payudara. Atrofi vulva. Selaput lendir vagina menurun, permukaan
menjadi halus, sekresi berkurang, sifatnya menjadi alkali dan terjadi perubahan
warna. Sedangkan pada laki-laki yaitu testis masih dapat memproduksi
spermatozoa, meskipun ada penurunan secara berangsur-angsur. Dorongan seksual
menetap sampai usia di atas 70 tahun, asal kondisi kesehatannya baik, yaitu
kehidupan seksual dapat diupayakan sampai masa lanjut usia. Hubungan seksual
secara teratur membantu mempertahankan kemampuan seksual. Tidak perlu cemas
karena prosesnya alamiah. Sebanyak 75% pria usia di atas 65 tahun mengalami
pembesaran prostat.
j.
Sistem
Genitourinaria
Ginja
merupakan alat untuk mengeluarkan sisa metabolisme tubuh, melalui urine darah
yang masuk ke ginjal, disaring oleh satuan (tepatnya di glomerulus).
Mengecilnya nefron akibat atrofi, aliran darah ke ginjal menurun sampai 50%
sehingga fungsi tubulus berkurang. Akibatnya, kemampuan mengonsentrasi urine
menurun, berat jenis urine menurun, proteinuria (biasanya +1), BUN (blood urea nitrogen) meningkat sampai 21
mg% , nilai ambang ginjal terhadap glukosa meningkat.
Keseimbangan elektrolit dan asam
lebih mudah terganggu bila dibandingkan dengan usia muda. Renal plasma flow (RPF) dan glomerular
fitration rate (GFR) atauklirens kreatinin menurun secara linier sejak usia
30 tahun (Cox Jr. Dkk,1985). Jumlah darah yang difiltrasi oleh ginjal
berkurang.
Vesika urinaria, otot menjadi
lemah, kapasitasnya menurun sampai 200 ml atau menyebabkan frekuensi buang air
seni meningkat. Pada pria lanjut usia, vesika urinaria sulit dikosongkan
sehingga mengakibatkan retrensi urine meningkat.
Pembesaran prostat, kurang lebih
75% dialami oleh pria usia di atas 65 tahun.
Atrofi Vagina, seseorang yang
semakin menua, kebetulan berhubungan seksualnya masih ada. Tidak ada batasan
umur tertentu kapan fungsi seksual seseorang berhenti. Frekuensi hubungan
seksual cenderung menurun secara bertahap setiap tahun, tetapi kapasitas untuk
melakukan dan menikmatinya berjalan terus sampai tua.
k.
Sistem endokrin
Kelenjar
endokrin adalah kelenjar buntu dalam tubuh manusia yang memproduksi hormon.
Hormon pertumbuhan berperan sangat penting dalam pertumbuhan, pematangan,
pemeliharaan, dan metabolisme organ tubuh. Yang termasuk horman kelamin adalah
estrogen, progesteron, dan testosteron yang memelihara alat reproduksi dan
gairah seks. Horman ini mengalami penurunan. Kelenjar pankreas ( yang
memproduksi insulin dan sangat penting dalam pengaturan gula darah). Kelenjar
adrenal/anak ginjal yang memproduksi adrenalin. Kelenjar yang berkaitan dengan
horman pria/wanita. Salah satu kelenjar endoktrin dalam tubuh yang mengatur
agar arus darah ke organ tertentu berjalan dengan baik, dengan jalan mengatur vasokontriksi
pembuluh darah. Kegiatan kelenjar anak ginjal unu berkurang pada lanjut usia.
Produksi hampir semua hormon menurun. Fungsi paratiroid dan sekresinya tidak
berubah. Hipofisis pertumbuhan hormon ada, tetapi lebih rendah dan hanya di
dalam pembuluh dara, berkurangnya produksi ACTH, TSH, FSH, dan LH. Aktivitas
tiroid, BMR (basal metabolic rate),
dan daya pertukaran zat menurun. Produksi aldosteron menurun. Sekresi hormon
kelamin, misalnya progesteron, estrogen, dan testoteron, menurun.
l.
Sistem integumen
Kulit mengerut
atau keriput akibat kehilangan jaringan lemak. Permukaan kulit cenderung kusam,
kasar, dan bersisik ( karena kehilangan proses keratinasi serta perubahan
ukuran dan bentuk sel epidermis). Timbu bercak pigmentasi akibat proses
melanogenesis yang tidak merata pada permukaan kulit sehingga tampak
bintik-bintik atau noda cokelat. Terjadi perubahan pada daerah sekitar mata,
timbulnya kerut-kerut halus di ujung mata akibat lapisan kulit menipis. Respons
terhadap trauma menurun. Mekanisme proteksi kulit menurun :
a.
Produksi serum
menurun.
b.
Produksi vitamin
D menurun.
c.
Pigmentasi kulit
terganggu.
Kulit kapala dan
rambut menipis dan berwarna kelabu. Rambut dalam hidung dan telinga menebal.
Berkurangnya elastisitas akibat menurunnya cairan dan vaskularisasi.
Pertumbuhan kaku lebih lambat. Kuku jari menjadi keras dan rapuh. Kuku menjadi
pudar, kurang bercahaya. Kuku kaki tumbuh secara berlebihan dan seperti tanduk.
Jumlah dan fungsi kelenjar keringat berkurang.
m.
Sistem
muskuloskeletas
Tulang
kehilangan densitas (cairan) dan semakin rapuh. Gangguan tulang, yakni mudah
mengalami demineralisasi. Kekuatan dan stabilitas tulang menurun, terutama
vertebra, pergelangan, dan paha. Insiden osteoporosis dan fraktur meningkat
pada area tulang tersebut. Kartilago yang meliputi permukaan sendi tulang
penyangga rusak dan aus. Kifosis. Gerakan pinggang, lutut dan jari-jari
pergelangan terbatas. Gangguan gaya berjalan. Kekakuan jaringan penghubung.
Diskus intervertebralis menipis dan menjadi pendek (tingginya berkurang).
Persendian membesar dan menjadi kaku. Tendon mengerut dan mengalami sklerosis.
Atropi serabut otot, serabut otot mengecil sehingga gerakan menjadi lamban,
otot kram, dan menjadi tremor (perubahan pada otot cukup rumit dan sulit
dipahami). Komposisi otot berubah sepanjang waktu (miofibril digantikan oleh
lemak, kolagen, dan jarningan parut). Aliran darah ke otot berkurang sejalan
dengan proses menua. Otot polos tidakbegitu berpengaruh.
2. Perubahan Mental
Dibidang
mental atau psikis pada lanjut usia, perubahan dapat berupa sikap yang semakin
egosentrik, mudah curiga, bertambah pelit, atau tamak bila memiliki sesuatu.
Yang perlu dimengerti adalah sikap umum yang ditemukan pada hampir setiap
lanjut usia, yakni keinginan berumur panjang, tenaganya sedapat mungkin dihemat.mengharapkan
tetap diberi peranan dalam masyarakat. Ingin mempertahankan hak dan hartanya,
serta ingin tetap berwibawa. Jika meninggal pun, mereka ingin meninggal secara
terhormat dan msuk surga.
Faktor-faktor yang mempengaruhi perubahan mental :
a.
Perubahan fisik,
khusus nya organ perasa.
b.
Kesehatan umum.
c.
Tingkat
pendidikan.
d.
Keturunan
(herediter).
e.
Lingkungan.
` perubahan
kepribadian yang drastis, keadaan ini jarang terjadi. Lebih sering berupa
ungkapan yang tulus dari perasaan seseorang, kekakuan mungkin karena faktor
lain, misalnya penyakit.
3. Perubahan Psikososial
Nilai
seseorang sering diukur melalui produktivitasnya dan identitasnya dikaitkan
dengan peranan dalam pekerjaan. Bila mengalami pensiun (purnatugas), seseorang
akan mengalami kehilangan, antara lain kehilangan finansial, kehilangan status
(dulu mempunyai jabatan/posisi yang cukup tinggi, lengkap dengan semua
fasilitas). Kehilangan teman/kenalan atau relasi. Kehilangan pekerjaan/kegiatan
dan merasakan atau sadar terhadap kematian, perubahan cara hidup (memasuki
rumah perawatan, bergerak lebih sempit). Kemampuan ekonomi akibat pemberhentian
dari jabatan. Biaya hidup meningkat pada penghasilan yang sulit, biaya
pengobatan bertambah. Adanya penyakit kronis dan ketidakmampuan. Timbulnya
kesepian akibat pengasingan dari lingkungan sosial. Adanya gangguan saraf
panca-indra, timbul kebutaan dan ketulian. Gangguan gizi akibat kehilangan
jabatan. Rangkaian kehilangan, yaitu kehilangan hubungan dengan teman dan
famili. Hilangnya kekuatan dan ketegapan fisik (perubahan terhadap gambaran
diri, perubahan konsep diri).
2.1.5 Ciri–Ciri Lansia
Menurut (Dalgleish et al.,
2007) Ciri-ciri lansia adalah sebagai
berikut :
a.
Lansia merupakan
periode kemunduran.
Kemunduran pada lansia sebagian datang dari
faktor fisik dan faktor psikologis. Motivasi memiliki peran yang penting dalam
kemunduran pada lansia. Misalnya lansia yang memiliki motivasi yang rendah
dalam melakukan kegiatan, maka akan mempercepat proses kemunduran fisik, akan
tetapi ada juga lansia yang memiliki motivasi yang tinggi, maka kemunduran
fisik pada lansia akan lebih lama terjadi.
b.
Lansia memiliki
status kelompok minoritas.
Kondisi
ini sebagai akibat dari sikap sosial yang tidak menyenangkan terhadap lansia
dan diperkuat oleh pendapat yang kurang baik, misalnya lansia yang lebih senang
mempertahankan pendapatnya maka sikap sosial di masyarakat menjadi negatif,
tetapi ada juga lansia yang mempunyai tenggang rasa kepada orang lain sehingga
sikap sosial masyarakat menjadi positif.
c.
Menua
membutuhkan perubahan peran.
Perubahan peran
tersebut dilakukan karena lansia mulai mengalami kemunduran dalam segala hal.
Perubahan peran pada lansia sebaiknya dilakukan atas dasar keinginan sendiri
bukan atas dasar tekanan dari lingkungan. Misalnya lansia menduduki jabatan
sosial di masyarakat sebagai Ketua RW, sebaiknya masyarakat tidak
memberhentikan lansia sebagai ketua RW karena usianya.
d.
Penyesuaian yang
buruk pada lansia.
Perlakuan yang
buruk terhadap lansia membuat mereka cenderung mengembangkan konsep diri yang
buruk sehingga dapat memperlihatkan bentuk perilaku yang buruk. Akibat dari
perlakuan yang buruk itu membuat penyesuaian diri lansia menjadi buruk pula.
Contoh : lansia yang tinggal bersama keluarga sering tidak dilibatkan untuk
pengambilan keputusan karena dianggap pola pikirnya kuno, kondisi inilah yang
menyebabkan lansia menarik diri dari lingkungan, cepat tersinggung dan bahkan
memiliki harga diri yang rendah.
2.2 Konsep stroke
2.2.1
Pengertian Stroke
Istilah stroke atau penyakit serebrovaskular mengacu
kepada setiap gangguan neurologik mendadak yang terjadi akibat pembatasan atau
terhentinya aliran darah melalui sistem suplai arteri otak. Istilah stroke
biasanya digunakan secara spesifik untuk menjelaskan infark serebrum. Istilah
yang lebih lama dan masih sering digunakan adalah serebrovascular accident (CVA) (Price & Lorraine, 2005)
Menurut Chandra
B. pada tahun 1996 menjelaskan bahwa stroke adalah gangguan fungsi saraf akut yang
disebabkan karena gangguan peredaran darah otak yang disertai dengan timbulnya
gejala dan tanda yang sesuai dengan daerah fokal pada otak yang terganggu, baik
yang terjadi secara mendadak (dalam beberapa detik) atau secara cepat (dalam
beberapa jam) (Noerjanto M., 2002) (Yuyun, 2016).
Secara
umum, stroke dapat terjadi pada semuakelompok umur, bahkan pada janin yang
masih di dalam kandungan sekalipun.(2) Tetapi tiga perempat dari peristiwa
stroke terjadi pada orang-orang yang sudah berusia 65 tahun atau lebih,
sehingga stroke mengakibatkan timbulnya disabilitas pada orang- orang tua (Suwantara, 2004)
Stroke
atau Cerebrovascular disease menurut
World Health Organization (WHO) adalah “tanda- tanda klinis yang berkembang
cepat akibat gangguan fungsi otak fokal atau global karena adanya sumbatan atau
pecahnya pembuluh darah di otak dengan gejala- gejala yang berlangsung selama
24 jam atau lebih”.(Arifianto et al.,
2014)
2.2.2
Klasifikasi Stroke
Menurut Victor M. Dan Ropper A.H
(2001) para ahli mengklasifikasikan stroke menjadi beberapa macam. Pengklasifikasian
tersebut ada yang berdasarkan gambaran klinis, patologi anatomi, sistem
pembuluh darah dan stadiumnya. Dasar klasifikasi yang berbeda ? beda ini perlu
karena setiap jenis stroke mempunyai cara pengobatan, preventif dan prognosis
yang berbeda, walaupun patogenesisnya serupa (Yuyun, 2016).
Klasifikasi
modifikasi Marshall untuk stroke adalah sebagai berikut.
I.
Berdasarkan
patologi anatomi dan penyebabnya :
1. Stroke Iskemik
a. Transient Ischemic Attack
b. Trombosis serebri
c. Emboli serebri
2. Stroke Hemoragik
a. Perdarahan intraserebral
b. Redarahan subarakhnoid
II.
Berdasarkan
stadium/pertimbangan waktu :
1. Transient Ischemic Attack
2. Stroke in evolution
3. Completed stroke
III.
Berdasarkan
sistem pembuluh darah :
1. Sistem karotis
2. Sistem vertebro-basiler
(Yuyun, 2016)
Menurut Badjatia (2005) Berdasarkan
mekanisme terjadinya, stroke digolongkan menjadi stroke penyumbatan (iskemia)
dan perdarahan (hemorrhagik). Stroke perdarahan dibagi lagi menjadi perdarahan
subarachnoid, intraserebral, dan hematoma subdural. Perdarahan subarachnoid
terjadi ketika darah masuk ke dalam subarachnoid akibat adanya trauma, pecahnya
pembuluh darah intrakranial yang mengalami pembengkakan atau pecah nya arteriovenous malformation (AVM).
Sementara itu, pada stroke
hemorragik intraserebral perdarahan
terjadi akibat pecahnya pembuluh darah di daerah parenkima otak itu sendiri
yang menyebabkan pembentukan hematoma. Hal ini sering kali disebabkan kondisi
hipertensi yang tidak terkontrol. Adapun hematoma subdural lebih disebabkan
adanya pembekuan darah di daerah dura yang yang disebabkan oleh trauma.
Meskipun lebih jarang terjadi dibandingkan stroke iskemia, namun stroke
hemorrhagik ini lebih mematikan (Yueniwati, 2015)
Menurut miscbach and kalim (2011) stroke juga bisa terdapat suatu peradangan atau
infeksi yang menyebabkan penyempitan pembuluh darah yang menuju ke otak.
Obat-obatan (misalnya kokain dan amfetamin) juga bisa menyempitkan pembuluh darah
di otak dan menyebabkan stroke. Penurunan tekanan darah yang tiba-tiba bisa
menyebabkan berkurangnya aliran darah ke otak, yang biasanya menyebabkan
seseorang pingsan. Hal ini terjadi jika sesorang mengalami kehilangan darah
yang banyak karena cedera atau pembedahan, serangan jantung atau irama jantung
yang abnormal (Yueniwati, 2015)
2.2.3
Penyebab Stroke
Menurut caplan (2000) Stroke iskemik
dapat terjadi berdasarkan 3 mekanisme yaitu trombosis serebri, emboli serebri
dan pengurangan perfusi sitemik umum. Trombosis serebri adalah obstruksi aliran
darah yang terjadi pada proses oklusi satu atau lebih pembuluh darah lokal.
Emboli serebri adalah pembentukan material dari tempat lain dalam sistem
vaskuler dan tersangkut dalam pembuluh darah tertentu sehingga memblokade
aliran darah. Pengurangan perfusi sistemik dapat mengakibatkan kondisi iskemik
karena kegagalan pompa jantung atau proses perdarahan atau hipovolemik (Rambe, 2002).
Menurut Heart
and Stroke Foundation (2003) Stroke
hemoragik terjadi akibat pecahnya pembuluh darah baik di dalam jaringan otak
yang mengakibatkan perdarahan intraserebral, atau di ruang subarakhnoid yang
menyebabkan perdarahan subarakhnoid (Rambe, 2002).
2.2.4.
Patofisiologi Stroke
Gangguan pasokan aliran darah otak
dapat terjadi dimana saja di dalam
arteri-arteri yang membentuk sirkulus: arteri karotis interna dan sistem
vertebrobasilar atau semua cabang-cabangnya . Secara umum, apabila aliran darah
ke jaringan otak terputus selama 15 sampai 20 menit, akan terjadi infark atau
kematian jaringan. Perlu dingat bahwa oklusi di suatu arteri tidak selalu
menyebabkan infark di daerah otak yang diperdarahi oleh arteri tersebut.
Alasannya adalah bahwa mungkin terdapat sirkulasi kolateral yang memadai ke
daerah tersebut. Proses patologi yang mendasari mungkin salah satu dari
berbagai proses yang terjadi di dalam pembuluh darah yang memperdarahi otak.
Patologinya dapat berupa (1) keadaan penyakit pada pembuluh itu sendiri,
seperti pada aterosklerosis dan trombosis, robeknya dinding pembuluh, atau
peradangan; (2) berkurangnya perfusi akibat gangguan status aliran darah,
misalnya syok atau hi perviskositas darah; (3) gangguan aliran darah akibat
bekuan atau embolus infeksi yang berasal dari jantung atau pembuluh
ekstrakranium; atau (4) ruptur vaskular di dalam jaringan otak atau ruang
subaraknoid (Price & Lorranine M., Patofisiologi konsep konsep Klinis
proses-proses penyakit, 2005)
Pathway
Otak
|
aterosklerosis
|
Trombosis
|
Kumpalan Plak
aterosklerosis
|
Kurang dapat
mengatur tekanan darah
|
Elestisitas akan
menghilang
|
Arteri sel otot
polos
|
stroke
|
hipertensi
|
serangan jantung
|
Emboli
|
Sumber :(Nastiti, 2012)
2.2.5
Tanda dan Gejala Stroke
Menurut klasifikasi yang dikemukakan
oleh The American Heart Association, daerah-daerah (domain) neurologis yang
mengalami gangguan akibat stroke dapat dikelompokkan dalam 5 tipe yang meliputi:
a. Motor: gangguan motorik adalah yang paling prevalen
dari semua kelainan yang disebabkan oleh stroke dan pada umumnya meliputi muka,
lengan, dan kaki, baik mono maupun dalam bentuk gabungan.
b. Sensori: defisit sensorik berkisar antara kehilangan
sensasi primer sampai kehilangan persepsi yang sifatnya lebih kompleks.
Penderita mungkin menyatakannya sebagai perasaan semutan, rasa baal, atau
gangguan sensitivitas. Kehilangan sensorik yang lebih kompleks meliputi
gangguan seperti astereognosis dan agrafia.
c. Penglihatan: stroke dapat menyebabkan hilangnya
visus secara monokuler, hemianopsia homonim, atau kebutaan kortikal.
d. Bicara dan bahasa: disfasia mungkin tampak sebagai
gangguan komprehensi, lupa akan nama-nama, adanya repetisi, dan gangguan
membaca dan menulis.(3,7) Sebanyak kira-kira 30% penderita stroke menunjukkan
gangguan bicara. Kelainan bicara dan bahasa dapat mengganggu kemampuan
penderita untuk kembali ke kehidupan mandiri seperti sebelum sakit.
e. Kognitif: kelainan ini berupa adanya gangguan
memori, atensi, orientasi, dan hilangnya kemampuan menghitung (kalkulasi).
Sekitar 15-25% penderita stroke menunjukkan gangguaun kognitif yang nyata
setelah mengalami serangan akut iskemik.
f. Afek: gangguan afeksi berupa depresi adalah yang
paling sering menyertai stroke. Depresi cenderung terjadi beberapa bulan
setelah serangan dan jarang pada saat akut.
(Suwantara, 2004)
Menurut
(Konsultan &
Kedokteran, 2016)
Bagi kebanyakan orang, tidak ada tanda-tanda medis yang terjadi sebelum
serangan stroke terjadi. Karena stroke bisa menyebabkan dampak yang sangat
serius, apabila terjadi tanda-tanda peringatan berikut, maka konsultasi dengan
dokter harus segera dilakukan untuk meminimalkan gejala sisa stroke (defisit
yang dihasilkan dari penyakit atau insiden sebelumnya):
a. Ketidakmampuan untuk berbicara dengan jelas atau
mengalami kesulitan untuk berbicara
b. Sensasi mati rasa secara tiba-tiba dan bersifat
sementara, kelemahan atau kelumpuhan salah satu lengan, satu kaki atau setengah
dari wajah (biasanya terjadi di sisi yang sama)
c. Penglihatan yang kabur secara tiba-tiba atau
penurunan kualitas penglihatan pada satu mata
d. Sakit kepala yang parah secara tiba-tiba • Gangguan
keseimbangan tubuh dan koordinasi tangan dan kak,i atau terjatuh secara
tiba-tiba tanpa alasan yang jelas
e. Rasa pusing atau pingsan tanpa alasan yang jelas
f. Inkontinensia (buang air kecil secara spontan)
2.2.6
Faktor Risiko Stroke
Menurut Bounameaux, et al (1999) Faktor
risiko stroke adalah faktor yang memperbesar kemungkinan seseorang untuk
menderita stroke. Ada 2 kelompok utama faktor risiko stroke. Kelompok pertama
ditentukan secara genetik atau berhubungan dengan fungsi tubuh yang normal
sehingga tidak dapat dimodifikasi. Yang termasuk kelompok ini adalah usia,
jenis kelamin, ras, riwayat stroke dalam keluarga dan serangan Transient
Ischemic Attack atau stroke sebelumnya. Kelompok yang kedua merupakan akibat
dari gaya hidup seseorang dan dapat dimodifikasi. Faktor risiko utama yang
termasuk kelompok kedua adalah hipertensi, diabetes mellitus, merokok,
hiperlipidemia dan intoksikasi alkohol (Rambe, 2002)
menurut hankey (2002) Adanya faktor
risiko stroke ini membuktikan bahwa stroke adalah suatu penyakit yang dapat
diramalkan sebelumnya dan bukan merupakan suatu hal yang terjadi begitu saja,
sehingga istilah cerebrovascular accident telah ditinggalkan. Penelitian
epidemiologis membuktikan
Bahwa
pengendalian faktor risiko dapat menurunkan risiko seseorang untuk menderita
stroke (Rambe, 2002)
Menurut (Konsultan &
Kedokteran, 2016)
Banyak faktor risiko yang bisa menyebabkan stroke. Jika Anda berada dalam salah
satu kategori berikut ini, Anda perlu waspada dan segera mengambil tindakan pencegahan yang diperlukan.
b. Riwayat stroke pada keluarga
c. Usia di atas
55 tahun: semakin tinggi usia, semakin tinggi risikonya
d. Tekanan darah tinggi: 70% dari pasien penderita
stroke mengalami tekanan darah tinggi
e. Kadar kolesterol tinggi: peluang lebih tinggi
terjadinya aterosklerosis (akumulasi kolesterol dan deposit (plak) lainnya pada
dinding arteri. Plak bisa mengurangi aliran darah yang melalui arteri) dan
penyempitan pembuluh darah otak
f. Merokok: meningkatkan peluang terjadinya stroke
hingga 3 kali lipat untuk pria dan 4,7 kali lipat untuk wanita
g. Diabetes melitus: meningkatkan peluang terjadinya
stroke hingga 4 kali lipat
h. Obesitas
i.
Penyakit
kardiovaskular: peluang lebih tinggi terjadinya stroke bagi orang-orang dengan
riwayat serangan jantung (infark miokard) dan irama jantung yang tidak normal
(fibrilasi atrium)
j.
Malformasi
Vaskular atau aneurisma (pembengkakan seperti balon) pembuluh darah di otak:
peluang perdarahan yang relatif lebih tinggi
k. Stroke Ringan, yaitu Serangan Iskemik Sementara (TIA
- Transient Ischemic Attack): memiliki gejala yang mirip dengan stroke, tetapi
berlangsung untuk jangka waktu yang lebih singkat, berlangsung sekitar 2 hingga
15 menit dan tidak lebih dari 24 jam. Stroke Ringan bisa menjadi tanda
peringatan bahwa akan terjadi stroke yang lebih berat di masa depan.
l.
Pecandu alkohol:
meningkatkan peluang terjadinya stroke
2.2.7
Komplikasi Stroke
Menurut
(Brunner & Suddarth, 2002) Komplikasi stroke
meliputi hipoksia serebral, penurunan aliran darah serebral, dan luas nya area
cedera :
b. Hipoksia serebral diminimalkan dengan memberi
oksigenasi darah adekuat ke otak. Fungsi otak bergantung pada ketersediaan
oksigen yang dikirimkan ke jaringan. Pemberian oksigen suplemen dan
mempertahankan hemoglobin serta hematokrit pada tingkat dapat diterima akan
membantu dalam mempertahankan oksigenasi jaringan.
c. Aliran darah serebral bergantung pada tekanan darah,
curah jantung, dan integritas pembuluh darah serebral. Hidrasi adekuat (cairan
intravena) harus menjamin penurunan viskositas darah dan memperbaiki aliran
darah serebral. Hipertensi atau hipotensi ekstrem perlu dihindari untuk
mencegah perubahan pada aliran darah serebral dan potensi meluasnya area
cedera.
d. Embolisme serebral dapat terjadi setalah infark
miokard atau fibrilasi atrium atau dapat berasal dari katup jantung prostetik.
Embolisme akan menurunkan aliran darah ke otak dan selanjutnya menurunkan
aliran darah ke serebral. Disritmia dapat mengakibatkan curah jantung tidak
konsisten dan penghentian trombus lokal. Selain itu, distritmia dapat
menyebabkan embolus serebral dan harus diperbaiki.
2.2.8
Penatalaksanaan Medis
Menurut
(Brunner & Suddarth, 2002) tindakan medis
terhadap pasien stroke meliputi :
b. Diuretik untuk menurunkan edema serebral, yang
mencapai tingkat maksimum 3 sampai 5 hari setelah infark serebral.
c. Antikoagulan dapat diresepkan untuk mencegah
terjadinya atau memberatnya trombosis atau embolisasi dari tempat lain dalam
sistem kardiovaskuler.
d. Medikasi antitrombosit dapat diresepkan karena
trombosit memainkan peran sangat penting dalam pembentukan trombus dan
ambolisasi.
2.2.9
Pencegahan Stroke
Menurut Wilterdink and Easton, 2001;
Sarti (,2003) Upaya preventif terbagi 2, yaitu prevensi primer dan prevensi
sekunder. Upaya prevensi primer ditujukan untuk mencegah terjadinya stroke pada
kelompok orang yang memiliki risiko untuk menderita stroke, misalnya pada
penderita hipertensi, perokok, penderita diabetes mellitus, penderita penyakit
jantung koroner dll. Termasuk ke dalam kelompok ini adalah modifikasi faktor
risiko, prevensi medik misalnya dengan pemberian anti platelet atau anti
koagulan, prevensi bedah misalnya carotid endarterectomy, dan
sosialisasi/kampanye kesehatan masyarakat. Upaya prevensi sekunder ditujukan
untuk mencegah terjadinya serangan stroke berulang pada kelompok orang yang
sudah pernah mengalami stroke. Ke dalam kelompok ini termasuk pengontrolan
faktor risiko, peningkatan faktor protektif, prevensi medik maupun prevensi
bedah (Rambe, 2002)
Pencegahan stroke menurut Mansyur
(2003), terdiri dari pencegahan primer dan sekunder. Pencegahan primer meliputi
: (1) Kampanye nasional, yang terintegrasi dengan program pencegahan penyakit
vaskuler lainnya (2) Memasyarakatkan gaya hidup sehat bebas stroke dengan cara
: (a) menghindari rokok, stres, alkohol, kegemukan, konsumsi rendah garam ,
hindari obat-obatan golongan amfetamin dan kokain. (b) Mengurangi kolesterol
dan lemak dalam makanan. (3) Mengendalikan hipertensi, diabetes mellitus,
penyakit jantung, penyakit vaskuler lainnya. (4) Menganjurkan konsumsi gizi
seimbang dan olah raga teratur (McHenry, 1985)
Pencegahan sekunder, (1) Memodifikasi
gaya hidup beresiko stroke dan faktor resiko, misalnya : hipertensi, diet obat
hipertensi yang sesuai, Diabetes mellitus, lakukan diet obat hipoglikemi
oral/insulin. Dislipidemia, : diet rendah lemak dan obat anti disilipidemia,
berhenti merokok, hindari merokok, hindari alkohol, kegemukan dan gerak badan.
(2) Melibatkan peran serta keluarga seoptimal mungkin, hal ini disebabkan
pasien stroke memiliki ketergantungan tinggi pada anggota keluarga untuk
memenuhi kebutuhan hidup sehari- hari. Keluarga yang harmonis, perhatian, komunikasi
dan relasi yang terbina baik, sangat bermakna bagi pasien sebagai suport
psikologi (McHenry, 1985)
2.3 Konsep Mobilitas
Fisik
2.3.1
Pengertian Mobilitas fisik
Menurut Kozier dkk (2010) Mobilisasi
adalah kemampuan untuk bergerak dengan bebas mudah, berirama, terarah di
lingkungan dan merupakan bagian yang sangat penting dalam kehidupan (Prima Gusty, 2014)
Mobilisasi adalah kemampuan yang dimiliki
oleh individu untuk
bergerak/melakukan
aktivitas didalam lingkungan sekitarnya, dari pengertian tersebut, adanya
kemampuan yang dimiliki oleh individu agar dapat melakukan aktivitas
sehari-hari (ADL) dalam memenuhi kebutuhan dasarnya seperti makan, minum, mandi
dan berpakaian tanpa harus memerlukan bantuan orang lain. Demikian juga
kegiatan lain yang menyangkut pekerjaan yang ditekuninya serta peran sosial
kemasyarakatan yang diembankan dapat dilaksanakan secara adekuat (Marlina, 2012).
Mobilitas adalah pergerakan yang
memberikan kebebasan dan kemandirian bagi seseorang dan pusat untuk berpartisipasi
dalam menikmati kehidupan (Indonesia, Prasetya,
Hukum, & Kenotariatan, 2012). Menurut Kozier (1997) mobilisasi merupakan kemampuan
yang dimiliki oleh setiap orang untuk bergerak dalam lingkungan sekitarnya
untuk kepentingan pemenuhan kebutuhan sehari- hari (Activities of Daily
Living/ADL ) serta pemenuhan terhadap peran yang diembannya dengan kemampuan
tersebut seseorang dapat melakukan aktifitas fisik yang bersifat kebutuhan
dasar, olah raga serta mampu berpartisipasi dalam kegiatan baik dilingkungan
keluarga, kelompok maupun sosial kemasyarakatan. Tercapainya k-leadaan tersebut
diperlukan fungsi-fungsi sistem tubuh yang adekuat, sehingga tidak terjadi
keterbatasan baik fisik maupun psikologis (Marlina, 2012)
2.3.2
Jenis Mobilitas
Menurut
(A. Aziz, 2009) Jenis Mobilitas fisik di bagi menjadi
dua, yaitu :
a. Mobilitas penuh
Merupan
kemampuan seseorang untuk bergerak secara penuh dan bebas senhingga dapat
melakukan interaksi sosial dan menjalankan peran sehari-hari. Mobilitas penuh
ini merupakan fungsi saraf motorik volunter dan sensorik untuk dapat mengontrol
seluruh area tubuh seseorang.
b. Mobilitas sebagian
Merupakan
kemampuan seseorang untuk bergerak dengan batasan jelas dan tidak mampu
bergerak secara bebas karena dipengaruhi oleh gangguan saraf motorik dan
sensorik pada area tubuhnya. Hal ini dapat dijumpai pada kasus cedera atau
patah tulang dengan pemasangan traksi pasien paraplegi dapat mengalami
mobilitas sebagian pada ekstremitas bawah karena kehilangan kontrol motorik dan
sensorik. Mobilitas sebagaian ini dibagi menjadi dua jenis, yaitu :
1. Mobilitas sebagian
temporer
Merupan kemampuan individu
untuk bergerak dengan batasan yang sifatnya sementara. Hal tersebut dapat
disebebkan oleh trauma dislokai sendi, dan tulang.
2. Mobilitas sebagian
permanen
Merupakan kemampuan
individu untuk bergerak dengan batasan sifatnya menetap. Hal tersebut
disebabkan oleh rusaknya sistem saraf yang reversibel, contohnya terjadinya
hemiplegia karena stroke, paraplegia karena cedera tulang belakang
poliomielitis karena terganggunya sistem saraf motorik dan sensorik
2.3.3
Faktor Yang Mempengaruhi Mobilitas Fisik
Menurut
(A. Aziz, 2009) Mobilitas seseorang dapat dipengaruhi
oleh beberapa faktor, di antaranya:
1. Gaya Hidup
Perubahan
gaya hidup dapat memengaruhi kemampuan mobilitas seseorang karena gaya hidup
berdampak pada perilaku atau kebiasaan sehari-hari.
2. Proses Penyakit/ Cedera
Proses
penyakit dapat memengaruhi kemampuan mobilitas karena dapat memengaruhi fungsi
sistem tubuh. Sebagai contoh, orang yang menderita fraktur femur akan mengalami
keterbatasan pergerakan dalam ekstremitas bagian bawah.
3. Kebudayaan
Kemampuan melakukan
mobilitas dapat juga dipengaruhi kebudayaan. Sebagai contoh, orang yang
memiliki budaya sering berjalan jauh memiliki kemampuan mobilitas yang kuat;
sebaliknya ada orang yang mengalami gangguan mobilitas (sakit) karena adat dan
budaya tertentu dilarang untuk beraktivitas.
4. Tingkat Energi
Energi
adalah sumber untuk melakukan mobilitas. Agar seseorang dapat melakukan
mobilitas dengan baik, dibutuhkan energi yang cukup.
5. Usia dan Status Perkembangan
Terdapat
perbedaan kemampuan mobilitas pada tingkat usia yang berbeda. Hal ini
dikarenakan kemampuan atau kematangan fungsi alat gerak sejalan dengan
perkembanganusia.
2.3.4
Prinsip Dasar Latihan ROM
Menurut
(Maimurahman, Havid,
n.d.)
prinsip dasar latihan ROM yaitu :
1. ROM harus diulang sekitar 8 kali dan dikerjakan
minimal 2 kali sehari.
2. ROM dilakukan perlahan dan hati-hati agar tidak
melelahkan pasien.
3. Dalam merencanakan program latihan ROM, perhatikan
umur pasien, diagnosis, tanda vital, dan lamanya tirah baring.
4. ROM sering diprogramkan oleh dokter dan dikerjakan
oleh fisioterapi atau perawat
5. Bagian-bagian tubuh yang dapat dilakukan ROM adalah
leher, jari, lengan, siku, bahu, tumit, kaki, dan pergelangan kaki.
6. ROM dapat dilakukan pada semua persendian atau hanya
pada bagian-bagian yang dicurigai mengalami proses penyakit.
7. Melakukan ROM harus sesuai dengan waktunya, misalnya
setelah mandi atau perawatan rutin telah dilakukan.
Pasien
yang mengalami keterbatasan mobilisasi seperti pada pasien stroke dan
keterbatasan anggota gerak atas khususnya sangat efektif untuk mendapatkan
latihan ROM untuk mencegah keterbatasan lebih lanjut seperti kontraktur. Hal
ini disebabkan karena dengan adanya latihan gerak sendi yang berupa gerakan
yang melibatkan aktivitas sekelompok otot maka akan timbul tonus otot yaitu
suatu keadaan normal dari tegangan otot yang berupa gerakan kontraksi dan
relaksasi yang mana memungkin tubuh mencapai gerakan fungsional dan mencegah
kelemahan otot (Nurbaeni &
Sudiana, 2010)
2.3.5
Pengertian Imobilitas
Imobilitas
atau imobilitasi merupakan keadaan di mana seseorang tidak dapat bergerak
secara bebas karena kondisi yang mengganggu pergerakan (aktivitas), misalnya
mengalami trauma tulang belang, cedera otak berat disertai fraktur pada
ekstremitas, dan sebagainya (A. Aziz, 2009)
2.2.6 Jenis
Imobilitas
Menurut
(A. Aziz, 2009) Jenis Mobilitas fisik di bagi menjadi empat, yaitu :
a. Imobilitas fisik
Merupakan
pembatasan untuk bergerak secara fisik dengan tujuan mencegah terjadinya
gangguan komplikasi pergerakan, seperti pada pasien dengan hemiplegia yang
tidak mampu mempertahankan tekanan di daerah paralisis sehingga tidak dapat
mengubah posisi tubuhnya untuk mengurangi tekanan.
b. Imobilitas intelektual
Merupakan
keadaan ketika seseorang mengalami keterbatasan daya pikir, seperti pada pasien
yang mengalami kerusakan otak akibat suatu penyakit.
c. Imobilitas Emosional
Keadaan
ketika seseorang mengalami pembatasan secara emosional karena adanya perubahan
secara tiba-tiba dalam menyesuaikan diri. Sebagai contoh, keadaan stres berat
dapat disebabkan karena bedah amputasi ketika seseorang mengalami kehilangan
bagian anggota tubuh atau kehilangan sesuatu yang paling dicintai.
d. Imobilitas sosial
Keadaan
individu yang mengalami hambatan dalam melakukan interaksi sosial karena
keadaan penyakitnya sehingga dapat memengaruhi peran nya dalam kehidupan
sosial.
2.2.7 Perubahan Sistem Tubuh Akibat Imobilitas
Menurut
(A. Aziz, 2009) dampak dari imobilitas dalam tubuh
dapat memengaruhi sistem tubuh, seperti :
a. Perubahan Metabolisme
Secara
umum imobilitas dapat mengganggu metabolisme ssecara normal, mengingat
imobilitas dapat menyebabkan turunnya kecepatan metabolisme dalam tubuh. Hal
tersebut dapat dijumpai pada pada menurunnya basal metabolisme rate (BMR) yang menyebabkan berkurangnya energi
untuk perbaikan sel-sel tubuh, sehingga
dapat memengaruhi gangguan oksigenasi sel. Perubahan metabolisme imobilitas
dapat mengakibatkan proses anabolisme menurun dan katabolisme meningkat.
Keadaan ini dapat berisiko meningkatkan gangguan metabolisme. Proses imobilitas
dapat juga menyebabkan penurunan ekstresi urine dan peningkatan nitrogen. Hal
tersebut dapat ditemukan pada pasien yang mengalami imobilitas pada hari kelima
dan keenam. Beberapa dampak perubahan metabolisme, di antaranya adalah
pengurangan jumlah metabolisme, atropi kelenjar dan katabolisme protein,
ketidakseimbangan cairan dan elektrolit, demineralisasi tulang, gangguan dalam
mengubah zat gizi, dan gangguan gastrointestinal.
b. Ketidakseimbangan Cairan dan Elektrolit
Terjadinya
ketidakseimbangan cairan dan elektrolit sebagai dampak dari imobilitas akan
mengakibatkan persediaan protein menurun dan konsentrasi protein serum
berkurang sehingga dapat mengganggu kebutuhan cairan tubuh. Di samping itu,
berkurangnya perpindahan cairan dari intravaskular ke interstisial dapat
menyebabkan edema sehingga terjadi ketidakseimbangan cairan dan elektrolit. Imobilitas
juga dapat menyebabkan demineralisasi tulang akibat menurunnya aktivitas otot,
sedangkan meningkatnya demineralisasi tulang dapat mengakibatkan reabsorbsi
kalium.
c. Gangguan Pengubahan
Zat Gizi
Terjadinya
gangguan zat gizi yang disebabkan oleh menurunnya pemasukan protein dan kalori
dapat mengakibatkan perubahan zat-zat makanan pada tigkat sel menurun, di mana
sel tidak lagi menerima glukosa, asam amino, lemak, dan oksigen dalam jumlah
yang cukup untuk melaksanakan aktivitas metabolisme.
d. Gangguan Fungsi Gastrointestinal
Imobilitas
dapat menyebabkan gangguan fungsi gastrointestinal. Hal ini disebabkan karena
imobilitas dapat menurunkan hasil makanan yang dicerna, sehingga penurunan
jumlah masukan yang cukup dapat menyebabkan keluhan, seperti perut kembung,
mual, dan nyeri lambung yang dapat menyebabkan gangguan proses eliminasi.
e. Perubahan Sistem Pernapasan
Imobilitas
menyebabkan terjadinya perubahan sistem pernapasan. Akibat imobilitas, kadar
haemoglobin menurun, ekspansi paru menurun, dan terjadinya lemah otot yang
dapat menyebabkan proses metabolisme terganggu. Terjadinya penurunan kadar
haemoglobin dapat menyebabkan penurunan aliran oksigen dari alveolu ke jarigan,
sehingga mengakibatkan anemia. Penurunan ekspansi paru dapat terjadi karena
tekanan yang meningkat oleh permukaan paru.
f. Perubahan Kardiovaskuler
Perubahan sistem
kardiovaskular akibat imobilitas antara lain dapat berupa hipotensi ortostatik,
meningkatnya kerja jantung, dan terjadinya pembentukan trombus. Terjadinya
hipotensi ortostatik dapat disebabkan oleh menurunnya kamampuan saraf otonom.
Pada posisi yang tetap dan lama, refleks neurovaskular akan menurun dan
menyebabkan vasokonstriksi, kemudian darah terkempul pada vena bagian bawah
sehingga aliran darah ke sistem sirkulasi pusat terhambat. Meningkatnya kerja
jantung dapat disebabkan karena imobilitas dengan posisi horizontal. Dalam
keadaan normal, darah yang terkumpul pada ekstremitas bawah bergerak dan
meningkatkan aliran vena kembali je jantung dan akhirnya jantung akan
meningkatkan kerjanya. Terjadinya trombus juga disebabkan oleh meningkatnya
vena statis yang merupakan hasil penurunan kontraksi muskular sehingga
meningkatkan arus balik vena.
g. Perubahan Sistem Muskuloskeletal
perubahan
yang terjadi dalam sistem muskuloskeletal sebagai dampak dari imobilitas adalah
sebagai berikut :
2. Gangguan Muskular
Menurunnya
massa otot sebagai sebagai dampak imobilitas dapat menyebabkan turunnya
kekuatan otot secara langsung. Menurunnya fungsi kapasitas otot ditandai dengan
menurunnya stabilitas. Kondisi berkurangnya massa otot dapat menyebabkan atropi
pada otot. Sebagai contoh, otot betis seseorang yang telah dirawat lebih dari
enam minggu ukurannya akan lebih kecil selain menunjukkan tanda lemah atau
lesu.
3. Gangguan Skeletal
Adanya
imobilitas juga dapat menyebabkan gangguan skeletal, misalnya akan mudah
terjadinya kontraktur sendi dan osteoporosis. Kontraktur merupakan kondisi yang
abnormal dengan kriteria adanya fleksi dan fiksasi yang disebabkan atropi dan
memendeknya otot. Terjadinya kontraktur dapat menyebabkan sendi dalam kedudukan
yang tidak berfungsi. Osteoporosis tejadi karena reabsorbsi tulang semakin
besar, sehingga yang menyebabkan jumlah kalsium ke dalam darah menurun dan
jumlah kalsium yang dikeluarkan melalui urine semakin besar.
h. Perubahan Sistem Integumen
Perubahan
sistem integumen yang terjadi berupa penurunan elastisitas kulit karena
menurunnya sirkulasi darah kibat imobilitas dan terjadinya iskemia serta
nekrosis jaringan superfisial dengan adanya luka dekubitus sebagai akibat
tekanan kulit yang kuat dan sirkulasi yang menurun ke jaringan.
i.
Perubahan
Eliminasi
Perubahan
dalam eliminasi misalnya penurunan jumlah urine yang mungkin disebabkan oleh
kurangnya asupan dan penurunan curah jantung sehingga aliran darah renal dan
urine berkurang.
j.
Perubahan
Perilaku
Perubahan
perilaku sebagai akibat imobilitas, antara lain timbulnya rasa bermusuhan,
bingung, cemas, emosional tinggi, depresi, perubahan siklus tidur, dan
menurunnya koping mekanisme. Terjadinya perubahan perilaku tersebut merupakan
dampak imobilitas karena selama proses imobilitas seseorang akan mengalami
perubahan peran, konsep diri, kecemasan, dan lain-lain.
2.4 Konsep
Asuhan Keperawatan
Konsep Asuhan Keperawatan menurut (Hidayat, 2009) .
2.4.1 Pengkajian
a.
Pengkajian
Keperawatan
Pengkajian pada masalah pemenuhan
kebutuhan mobilitas dan imobilitas adalah sebagai berikut :
1.
Riwayat
Keperawatan Sekarang
Pengkajia
riwayat pasien saat ini meliputi alasan pasien yang menyebabkan terjadi
keluhan/ gangguan dalam mobilitas dan imobilitas, seperti adanya nyeri,
kelemahan otot, kelelahan, tingkat mobilitas dan imobilitas, daerah
terganggunya mobilitas dan imobilitas, dan lama terjadinya gangguan mobilitas.
2.
Riwayat
Keperawatan Penyakit yang Pernah Diderita
Pengkajian
riwayat penyakit yang berhubungan dengan pemenuhan kebutuhan mobilitas,
misalnya adanya riwayat penyakit sistem neurologis (kecelakaan cerebrovaskular,
trauma kepala, peningkatan tekanan intrakranial, miasteni gravis, guillain
barre, cedera medula spinalis, dan lain-lain), riwayat penyakit sistem
kardiovaskular (infark miokard, gagal jantung kongestif), riwayat penyakit
sistem muskuloskeletal (osteoporosis, fraktur, artritis), riwayat penyakit
sistem pernafasan (penyakit paru obstruksi menahun, pneumonia, dan lain-lain),
riwayat pemakaian obat, seperti sedativa, hipnotik, depresan sistem saraf
pusat, laksansia.
3.
Kemampuan Fungsi
Motorik
Pengkajian
fungsi motorik antara lain pada tangan kanan dan kiri, kaki kanan dan kiri
untuk menilai ada atau tidaknya kelemahan, kekuatan, atau spastik.
4.
Kemampuan
Mobilitas
Pengkajian
kemampuan mobilitas dilakukan dengan tujuan untuk menilai kemampuan gerak ke
posisi miring, duduk, berdiri, bangun, dan berpindah tanpa bantuan. Kategori
tingkat kemampuan aktivitas adalah sebagai berikut :
Tingkat Aktivitas/mobilitas
|
Kategori
|
Tingkat 0
|
Mampu merawat diri sendiri secara
penuh.
|
Tingkat 1
|
Memerlukan penggunaan alat.
|
Tingkat 2
|
Memerlukan bantuan atau pengawasan
orang lain.
|
Tingkat 3
|
Memerlukan bantuan, pengawasan orang
lain, dan peralatan.
|
Tingkat 4
|
Sangat tergantung dan tidak dapat melakukan
atau bepartisipasi dalam perawatan.
|
(sumber
: (Hidayat, 2009)
5.
Kemampuan
Rentang Gerak
Pengkajian
rentang gerak (range of motion-ROM)
dilakukan pada daerah seperti bahu. siku, lengan, dan kaki.
Gerak Sendi
|
Derajat Rentang Normal
|
Bahu
Adduksi : Gerakan lengan ke lateral
dari posisi samping ke atas kepala, telapak tangan menghadap ke posisi jauh.
|
180
|
Siku
Fleksi : angkat lengan bawah ke arah
depan dan ke arah atas menuju bahu.
|
150
|
Pergelangan tangan
Fleksi : tekuk jari-jari tangan ke
arah bagian dalam lengan bawah.
|
80-90
|
Ekstensi : luruskan pergelangan tangan
dari posisi fleksi.
|
80-90
|
Hiperekstensi :tekuk jari-jari tangan
ke arah belakang sejauh mungkin..
|
70-90
|
Abduksi : tekuk pergelangan tangan ke
sisi ibu jari ketika telapak tangan menghadap ke atas.
|
0-20
|
Adduksi : tekuk pergelangan tangan ke
arah kelingking, telapak tangan menghadap ke atas.
|
30-50
|
Tangan dan jari
|
|
Fleksi : buat kepalan tangan
|
90
|
Ekstensi : luruskan jari
|
90
|
Hiperekstensi : tekuk jari-jari tangan
ke belakang sejauh mungkin.
|
30
|
Abduksi : kembangkan jari tangan.
|
20
|
Adduksi : rapatkan jari-jari tangan
dari posisi abduksi
|
20
|
6.
Perubahan
Intoleransi Aktivitas
Pengkajian
intoleransi aktivitas yang berhubungan dengan perubahan pada sisten pernapasan,
antara lain suara napas, analisis gas darah, gerakan dinding thorak, adanya
mukus, batuk yang produktif diikuti panas, dan nyeri saat respirasi. Pengkajian
intoleransi aktivitas terhadap perubahan sistem kardiovaskular, seperti nadi
dan tekanan darah, gangguan sirkulasi perifer, adanya trombus, serta perubahan
tanda vital setelah melakukan aktivitas atau perubahan posisi
7.
Kekekuatan Otot
Gangguan koordinasi
Dalam
mengkaji kekuatan otot dapat ditentukan kekuatan secara bilateral atau tidak.
Menurut
(Hidayat, 2009) derajat kekeuatan otot dapat ditentukan
dengan :
skala
|
Presentasi Kekuatan Normal
|
Karakteristik
|
0
|
0
|
Paralisis sempurna
|
1
|
10
|
Tidak ada gerakan, kontraksi otot
dapat di palpasi atau dilihat.
|
2
|
25
|
Gerakan otot penuh melawan gravitasi
dengan topangan
|
3
|
50
|
Gerakan yang normal melawan gravitasi
|
4
|
75
|
Gerakan penuh yang normal melawan
gravitasi dan melawan tahanan minimal.
|
5
|
100
|
Kekuatan normal, gerakan penuh yang
normal melawan gravitasi dan tahanan penuh.
|
8.
Perubahan
Psikologis
Pengkajian
perubahan psikologis yang disebabkan oleh adanya gangguan mobilitas dan
imobilitas, antara lain perubahan perilaku, peningkatan emosi, perubahan dalam
mekanisme koping, dan lain-lain.
b.
Diagnosa
Keperawatan
1. Kerusakan mobilitas fisik yang berhubungan dengan
hemiparesis, kehilangan keseimbangan dan koordinasi, spastisitas, dan cedera
otak.
2. Gangguan penurunan curah jantung akibat imobilitas.
3. Intoleransia aktivitas akibat menurunnya
fleksibilitas otot.
4. Nyeri (bahu nyeri ) yang berhubungan dengan
hemiplegia dan disuse.
5. Kurang perawatan diri (higiene, toileting,
berpindah, makan) yang berhubungan dengan gejala sisa stroke.
6. Perubahan proses berpikir yang berhubungan dengan
kerusakan otak, konfusi, ketidakmampuan untuk mengikuti instruksi.
7. Kerusakan komunikasi verbal yang berhubungan dengan
kerusakan otak
8. Perubahan nutrisi (kurang dari kebutuhan) akibat
menurunnya nafsu makan (anoreksia) akibat sekresi lambung menurun, penurunan
peristaltik usus.
c.
Intervensi
Keperawatan
Tujuan
:
1. Meningkatkan kekuatan, ketahanan otot, dan
fleksibitas sendi.
2. Meningkatkan fungsi kardiovaskular.
3. Meningkatkan fungsi gastrointestinal.
4. Meningkatkan sistem fungsi perkemihan.
5. Memperbaiki gangguan psikologis,
1.
Meningkatkan
Kekuatan, ketahanan Otot, dan Fleksibitas Sendi.
Meningkatkan kekuatan dan ketahanan otot pada pasien
dengan pemenuhan kebutuhan mobilitas dan imobilitas dapat dilakukan dengan cara
a. Pengaturan posisi dengan cara mempertahankan posisi
dalam postur tubuh yang benar. Cara ini dapat dilakukan dengan membuat sebuah
jadwal tentang perubahan posisi selama kurang lebih setengah jam.
Pelaksanaannya dilakukan secara bertahap agar kemampuan kekuatan otot dan
ketahanan dapat meningkat secara berangsur-angsur.
b. Ambulasi dini merupakan salah satu tindakan yang
dapat meningkatkan kekuatan dan ketahanan otot. Hal ini dapat dilakukan dengan
cara melatih posisi duduk di tempat tidur, turun dari tempat tidur, berdiri di
samping tempat tidur, bergerak ke kursi roda, dan seterusnya. Kegiatan ini
dapat dilakukan secara barangsur-angsur.
c. Melakukan aktivitas sehari-hari secara mandiri untuk
melatih kekuatan dan ketahanan serta kemampuan sendi agar mudah bergerak.
d. Melatih isotonik dan isometrik. Latihan ini juga
dapat digunakan untuk melatih kekuatan dan ketahanan otot dengan cara
mengangkat beban yang ringan, kemudian beban yang berat. Latihan isotonik (dynamic exercise) dapat dilakukan dengan
rentang gerak (ROM) secara aktif, sedangkan latihan isometrik (static exercise) dapat dilakukan dengan
meningkatkan curah jantung ringan dan nadi.
e. Latihan ROM, baik secara aktif maupun pasif, ROM
merupakan tindakan untuk mengurangi kekakuan pada sendi dan kelemahan pada
otot.
2.
Meningkatkan
fungsi kardiovaskular
Meningkatkan
fungsi kardiovaskular sebagai dampak dari imobilitas dapat dilakukan antara
lain dengan cara ambulasi dini, latihan aktif, dan pelaksanaan aktivitas
sehari-hari secara mandiri. Hal tersebut dilakukan secara bertahap. Di samping
itu, dapat pula dilakukan pengukuran tekanan darah dan sendi setiap kali
terjadi perubahan posisi. Untuk meningkatkan sirkulasi vena perifer dapat
dilakukan dengan cara mengangkat daerah kaki secara teratur.
3.
Meningkatkan
fungsi Gastrointestinal
Meningkatkan
fungsi gastrointestinal dapat dilakukan dengan cara mengatur diet tinggi
kalori, protein, vitamin, dan mineral. Selain itu, untuk mencegah dampak dari
imobilitas dapat dilakukan dengan latihan ambulasi.
4.
Meningkatkan
Fungsi Sistem Kemih
Meningkatkan
sistem kemih dapat dilakukan dengan latihan atau mengubah posisi serta latihan
mempertahankannya. Pasien dianjurkan untuk minum 250 cc per hari atau lebih,
dan menjaga kebersihan perineal. Apabila pasien tidak dapat buang air kecil
secara normal, dapat dilakukan kateterisasi. Di samping itu, untuk mencegah
inkontinensia urine, dapat dilakukan dengan cara minum banyak pada siang hari
dan minum sedikit pada malam hari.
5.
Memperbaiki
Gangguan Psikologis
Meningkatkan
kesehatan mental dan mengurangi emosi sebagai dampak dari imobilitas dapat
dilakukan dengan melakukan komunikasi secara terapeutik dengan berbagai
perasaan, membantu pasien untuk mengekspresikan kecemasannya, meningkatkan
privasi pasien, memberikan dukungan moril, mempertahankan citra diri,
menganjurkan untuk melakukan interaksi sosial, mengajak untuk berdiskusi
tentang masalah yang dihadapi, dan seterusnya.
Komentar
Posting Komentar